Rabu, 07 September 2011

Sudah Kroniskah "PEnyakit" Ini?

Lagi, SMS masuk pukul 18.23, tanggal 7 Sepember 2011.

Sampai tulisan ini selesai, SMS itu belum kubalas, bahkan tidak niat kubalas dan itu bukan SMS pertama yang tak terbalas sejak 2 Syawal 1432 H. Akan tetapi, ada pula satu, dua SMS yang masuk ke inbox ponselku dan kubalas, itu pun tanpa hasrat. Biasanya hal ini terjadi saat aku sedang “berpenyakit”, tetapi kali ini berbeda, dan berbeda itu dapat saja maksudnya “penyakit” yang kualami sudah kronis, entahlah. Aku yakin sekronis apa pun sebuah penyakit, pasti bisa sembuh, sayangnya aku tak ingin dan masih tak bisa sembuh saat ini.

Sejak tanggal 18 Ramadhan 1432 H terdapat perbedaan, dapat dikatakan saat itulah asal mula “penyakit”-ku kronis. Hari dan tanggal yang tak mungkin akan mudah kulupa, Kamis, 18 Agustus 2011. Tanggal itu cukup bersejarah karena itulah kali ketiga aku harus bolak-balik ke rumah sakit, rumah sakit yang sama selama ketiga kalinya. Aku ke rumah sakit tentu saja bukan karena “penyakit”-ku, lagipula sejak kapan “penyakit” ini terdeteksi oleh alat-alat kedokteran. Lalu, apakah yang menjadikan berbeda? Pertama, ini sudah ketiga kalinya, yang ke-TIGA, sehingga kondisi si Sakit (mamaque) makin parah daripada yang pertama dan kedua. Perbedaan kedua adalah kali ketiga ini bertepatan dengan bulan Ramadhan, ya..RAMADHAN, menuju 10 malam terakhir Ramadhan tepatnya. Yang ketiga, baru kali inilah masalah administrasi sangat-sangat ribet. Tiga perbedaan yang mampu menciptakan emosi kesedihan dan ternyata dapat memancing aura “penyakit”-ku.

Ya, sejak tanggal bersejarah itulah……:

• Mulai banyak orang yang menanyakan, “Udah semester berapa?”, setelah kujawab, banyak doa bertaburan seperti, “Moga cepet lulus.” Alhamdulillah.. memang beginilah nasib anak bontot, sebagai satu-satunya anak yang masih tanggungan orangtua, ditanya-tanyain.

• Makin kenal seutuh-utuhnya tiap anggota keluarga, dan tersadar bahwa kami baru beramal jama’I sangat erat ketika ada suatu kasus. Tahun 2007, tepatnya 2 Februari (ini pun tanggal yang tak mudah dilupa), saat banjir di rumah, kami pun mantap banget amal jama’i-nya. Oia, di kedua waktu tersebut juga harus merelakan tidak ikut agenda keislaman SMA, KRENASI (3 Feb’07,acara Muharram) dan STARF (21 Agst’11, acara bukber , bulan RAMADHAN).

• Tidur makin sembarangan tempat, tidak tentu, dan terburu-buru. Maksudnya tidur terburu-buru adalah tidak nyadar tidur saking capenya dan bangun dengan kaget.

• Mulai kepikiran hal yang sebelumnya males dipikirin dan itu aneh banget pikirannya, apakah itu? Bahkan sekarang nulisnya pun eeerrrr banget, tetapi makin ngerasa butuh, ya baiklah, emang butuh, yaitu pasangan hidup. Penyebabnya bisa saja karena lingkungan. Biasanya sehari-hari hidup di lingkungan mahasiswa yang “ideal” atau idealis itu, terus semenjak tanggal tersebut lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga, kemudian kedatangan tetangga, sanak saudara, dan itulah kehidupan sesungguhnya yang jauh dari “ideal”.
Pikiran-pikiran aneh mulai dari kisah Siti Nurbaya-Datuk Maringgih-tanpa Samsul Bahri, terus kalo ke suatu tempat atau kemana pun itu entah kenapa berpikir “Jangan-jangan bakal ketemu jodoh gw nih di sini,” Astaghfirullah… dan pernah ngebatin “Kalau saat ini (ketika ngebatin, bukan sekarang) ada yang ngelamar, langsung diterima aja yang penting dia laki-laki.” Astaghfirullah… emang error system banget kayaknya pas mikir seperti itu. Klimaks dari pikiran aneh ini, yaitu saat pulang ke rumah dan para pria menggotong mama keluar dari mobil. Papa dan kakak iparku yang berukuran cukup mini harus mengangkat mama, iya sih dibantuin tetangga juga, tetapi yang muda cuma kakak iparku satu itu,kasihan banget kan .. Sudahlah, jangan aku perpanjang lagi poin terakhir ini, aku yakin ketika kembali berinteraksi dengan anak kampus atau anak sekolah kebuang habislah pikiran aneh itu. Masalah rezeki, salah satunya jodoh, memang termasuk dalam zona wallahu’alam, jadi nikmati saja.


Kejadian yang tak mudah untuk dilupakan ini masih menyisakan sesuatu yang menyedihkan dan yang paling menyedihkan adalah aku tidak sempat mengucapkan selamat tinggal kepada RAMADHAN. JIka RAMADHAN dapat berbicara, mungkin dia akan menanyakan di mana keberadaanku di 10 malam terakhir. Mungkin dia akan menyayangkan ketidakberadaanku di masjid-masjid ketika itu atau paling mungkin adalah dia tidak sudi mengucapkan sepatah kata pun bagi orang-orang yang tertinggal sepertiku, tentu saja karena dia tidak peduli. Walaupun Ramadhan tidak peduli, tetapi Allah sangat peduli. Perhatian Allah sangat luar biasa, Allah memberi cermin yang besar agar dapat kulihat jelas hikmah. Ramadhan 1432 H berlalu terlalu cepat, meski begitu aku merasakan sangat, esensi Ramadhan sesungguhnya, yaitu MENAHAN DIRI. Esensi inilah yang terus kucoba pertahankan dan akan ku gunakan untuk sedikit demi sedikit menghilangkan kekronisan “penyakit”-ku..semoga cepat sembuh

1 komentar:

  1. Fitri.. bersabarlah, Allah akan memberikan kabar gembira dengan kesabaranmu. :)

    BalasHapus