Kamis, 30 Juni 2011

kemarin, hari ini, dan nanti

Kangen dengan Rohis yang dahulu
Walau si ikhwan rada kaku
Para akhwat pun pemalu
Namun akhlaknya insya Allah baik untuk ditiru

Jika diingat lagi
Syuro Rohis tak memakai emosi
Memang ada silang pendapat sana-sini
Tapi tetap diselesaikan dengan ketenangan hati

Mana Rohis yang terkenal sopan kepada guru
Meskipun dimarahi masih sempat senyum tersipu
Dan hanya terdengar jawaban, “iya Bu…”
Hingga guru pun tak banyak menyimpan ragu

Rohis yang kurindu
Mengapa warnamu kini kelabu
Di tengah persaingan engkau membisu
Orang sekelillingmu jadi menggerutu

Kutahu Rohisku tidaklah pergi
Tak setuju pula bila dikatakan mati suri
Mungkin dia hanya (kembali) mencari jati diri
Menuju kebenaran hakiki

Sekarang bukan saatnya berputus asa
Karena kuyakin harapan itu selalu ada
Rohis kami yang dibangun dengan air mata
Harus diperjuangkan dengan semangat membara


Kami sadar hari esok itu belum pasti
Oleh karenanya kami mulai bergerak hari ini
Jika waktu telah menghentikan langkah kami nanti
Semoga Rohis terus mencetak para generasi Rabbani


24 Juli’10
~ba’da pembicaraan luar biasa berduaan dengan al-Ukh di sudut masjid sekolah yang mulai tak terisi~

Rabu, 29 Juni 2011

Penjelajahan dari Pekojan-Kota Tua

Ini adalah salah satu makam di Masjid Al-Anshor, Pekojan


Masjid Al-Nashor termasuk masjid tertua yang didirikan di Jakarta dengan bercorak Betawi


Masjid ini ditetapkan oleh Pemda sebagai salah satu cagar budaya, tetapi Pemda tidak pernah memberikan dana untuk "melestarikan" masjid tua ini.


LAnggar Tinggi Pekojan (tampak samping), salah satu tempat penyalinan naskah di Jakarta.

KONDISI SOSIAL YANG MEMPENGARUHI TRADISI PENYALINAN DI BETAWI

Oleh: Fitri Apriliani Lestari, Program Studi Indonesia FIB UI


Kegiatan pernaskahan di Jakarta telah dimulai ketika kolonial Belanda menduduki Jakarta atau yang dulu dikenal dengan Batavia. Sebelum Belanda menguasai wilayah Batavia, Belanda hanya diperbolehkan berdagang pada tahun 1617. Semakin lama Belanda semakin ingin memperoleh keseluruhan dari Batavia sehingga pada tahun 1618 mulai ada keributan antara Belanda dengan orang-orang Jayakarta, Banten, dan Inggris. Perselisihan berakhir pada tanggal 30 Mei 1619 ditandai dengan kehancuran Jayakarta yang kemudian dibangun kembali menjadi kota baru bernama Batavia.
Kota Batavia pada masa kolonial Belanda keadaanya jauh berbeda dengan wajah ibukota Republik Indonesia, Jakarta, sekarang. Dulu hutan rawa dan sawah masih mengitari daerah Batavia, sedangkan saat ini gedung perkantoran dan pusat perbelanjaanlah yang mengitari daerah Jakarta. Sebagai kota kolonial, kota Batavia dibangun sesuai dengan tata kota di Belanda. Pada awal pembangunan kota Batavia, Belanda mendirikan Benteng di sekitar sungai Ciliwung. Daerah itu segera menjadi pusat kegiatan VOC dengan dibangunnya tempat tinggal gubernur jenderal, kantor, dan sebagainya. Kekhasan yang mencirikan kota di Belanda tampak melalui sistem saluran yang digali melaluisungai sehingga menembus ke kota. Terudan dan saluran air yang dibuat Belanda digunakan untuk transportasi dengan perahu yang membawa barang-barang.


Kondisi Pribumi pada Masa Kolonial Belanda

Kehidupan yang layak di Batavia memang hanya dirasakan oleh kolonial Belanda beserta orang Eropa yang menempati Weltenvreden. Bagi pribumi atau inlanders yang bermukim ditanah-tanah partikelir, pribumi adalah kumpulan orang yang dijajah secara ganda oleh kolonial Belanda. Selain menguasai wilayah Batavia, kolonial Belanda juga tidak jarang bertindak sewenang-wenang terhadap penduduk melalui kaki tangannya. Sebagai akibatnya, sebagian besar penduduk menjadi aptis menerima nasibnya yang malang. Ada pula pribumi yang mengandalkan kekuatan fisik serta ketrampilannya berkelahi, ditambah dengan ilmu klenik sebagai penguat semangat, untuk melepaskan diri dari ikatan penjajahan ganda itu,
Keadaan pribumi di kampung-kampung yang tersebar di Batavia, seperti di daerah Krukut, Pecenongan, kampung Mangga Besar, Kebon Jeruk, Angke, Jembatan Lima, dan sebagainya tentu saja berbeda dengan keadaan orang Eropa di Weltenvreden. Pada pagi hari bila kita dari jalan Medan Merdeka kemudian menyeberang jembatan Prapatan, terlihat banyak penduduk pribumi yang mandi dan mencuci pakaian di Sungai Ciliwung. Rumah-rumah di kampung umumnya dari kayu, bambu, dan jerami. Lingkungan di kampung terlihat ada yang tidak bersih, di sekitarnya tergenang rawa dan rumah mereka terletak di jalan-jalan kecil. Bencana yang sering mereka alami antara lain adalah banjir dan kesulitan mendapat air bersih (Abeyasekere, 1987: 70-71).
Masyarakat jajahan, seperti halnya mesyarakat Betawi pada masa yang lalu, menghasilkan sastra yang jelas menggambarkan keadaan masyarakatnya yang tergencet, terbelakang, penuh penderitaan. Kalaupun ada yang diceritakan "memperoleh penghidupan yang layak, ialah mereka yang beruntung "sebagai alat penjajah, karena ketaatan dan kesediaannya untuk dijadikan alat penjajah, sebagaimana banyak diceritakan dalam cerita rakyat Betawi, menjadi mandor atau pecalang. Namun, adapula pribumi yang berprofesi sebagai penyalin naskah untuk menghidupi keluarga. Selain itu, penyewaan naskah pun menjadi salah satu mata pencaharian pribumi saat itu.

Penyalinan Naskah di Algemeene Secretarie
Dari naskah-naskah Melayu, kita mengetahui adanya orang-orang pribuimi di Batavia yang bekerja sebagai penyalin naskah. Di antara para penyalin ada yang dapat dikatakan professional. Mereka itu adalah para juru tulis yang bekerja untuk pemerintah Belanda di kantor Algemeene Secretarie (AS). Meskipun terdapat pribumi yang menjadi penyalin naskah atau dapat disebut sebagai pegawai Belanda, riwayat para penyalin AS tidak dapat terdeteksi. Ini dapat diartikan bahwa peranan para penyalin atau juru tulis pribumi tidak dihargai oleh Belanda.
Pada dasarnya tugas juru tulis atau penyalin naskah AS sangat penting bagi Belanda. Dari naskah yang disalin oleh para juru tulis tersebut, Belanda dapat mempelajari bahasa dan adat istiadat budaya Indonesia. Hal ini merupakan cara Belanda untuk memahami tentang penduduk pribumi sehingga di kemudian hari dapat memperluas dan mengokohkan kekuasaan Belanda di Indonesia.
Penyalinan Naskah di Langgar Tinggi
Langgar tinggi dikenal sebagai tempat ibadah umat Islam. Langgar tinggi yang terkenal dan masih terdapat di Jakarta ada dua buah, yaitu Langgar Tinggi di Pecenongan dan Langgar Tinggi di Pekojan. Kedua langgar tinggi itu merupakan pusat-pusat pergumulan intelektual Melayu Betawi. Dari langgar tinggi Pekojan lahir Sayyid Usman bin Yahya, penulis 50 judul buku agama Islam dalam bahasa Melayu Betawi, dan sastrawan Melayu Betawi, Muhammad Bakir, lahir dari Langgar Tinggi di Pecenongan.
Langgar Tinggi di Pecenongan dikenal pula sebagai Perpustakaan Fadli. Di Perpustakaan ini terdapat berbagai koleksi naskah yang disalin oleh M. Bakir dan Sapirin. Koleksi naskah disewakan sebagai sumber nafkah. Naskah di tempat ini berjumlah lebih dari 70 dan hampir semuanya ditulis oleh mereka sendiri. Menurut Muhadjir, pada abad ke-19 terdapat tradisi penyalinan naskah dengan tujuan komersial, yang menjadi salah satu sumber penghasilan. Keluarga Fadli, orang tua Muhammad Bakir dari Pecenongan, termasuk salah satu keluarga pengarang atau penyalin naskah yang demikian.
Ketika itu, naskah-naskah cerita ditulis dalam huruf Arab-Melayu (Arab Jawi). Pada umumnya naskah tersebut tidak dibaca sendiri, melainkan dibacakan keras-keras oleh seseorang di hadapan publiknya. Mengingat ketika itu hanya sedikit orang yang dapat membaca, dan lebih banyak yang hanya bisa mendengarkannya. Ketika hiburan masih langka, banyak warga Betawi yang mencari hiburan ke perpustakaan. Karena sifatnya komersial, pada halaman terakhir ada bait-bait syair yang berisi harapan penulis pada pembaca agar jangan melupakan uang sewa, yang akan dipergunakan untuk keluarganya.


Daftar Pustaka:
Chambert-Loir. 2009. Sapirin bin Usman: Hikayat Nahkoda Asik, Muhammad Bakir:Hikayat Merpati Mas & Merpati Perak. Jakarta: EFEO & PNRI.
Rukmi, Maria Indra. 1997. Penyalinan Naskah Melayu di Jakarta pada Abad XIX. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
www.beritajakarta.com
www.pikiran-rakyat.com

BELAJAR DARI BUNGA : MEMBERI ARTI HINGGA MATINYA

Tak ada seorang pun yang tidak mengenal bunga dan menyukainya. Sejak dahulu hingga sekarang, banyak orang mengenalnya sebagai lambang kelembutan, kecantikan, kasih sayang, dan lainnya. Hingga banyak judul lagu yang dihasilkan para penggubah, bersumber dari bunga. Misalnya, “Melati di Tapal Batas”, “Melati dari Jaya Giri”, “Bunga Seroja”, “Sekuntum Mawar Merah”, dan “Bunga Nirwana”.

Sayangnya, orang hanya mengenal bunga dari sisi keindahan, kelembutan, aroma yang ditebarkan, dan nilai ekonomi yang relatif tinggi. Padahal, bunga mengandung manfaat lain yang luar biasa, yaitu metafora agung yang sarat nilai untuk dijadikan pedoman dalam mengarungi biduk kehidupan.

Allah berfirman dalam QS Ali Imran [3]: 191, “… (seraya berkata), 'Ya, tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.'”
Berikut beberapa nilai kehidupan pada bunga itu. Pertama, bunga selalu memberikan manfaat buat banyak orang. Ia memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Itu dibuktikan dengan pasar bunga dan toko bunga yang tak pernah sepi. Tak hanya orang, kupu-kupu pun senantiasa menari kegirangan ketika hinggap menghisap madunya.

Kedua, bunga selalu siap menyapa siapa pun dalam setiap keadaan. Mulai dari keadaan suka saat pesta pernikahan sampai keadaan duka dalam suasana kematian. Ketiga, bunga selalu menebarkan aroma wangi dan menyegarkan siapa pun. Kendati suatu saat ia dicampakkan, bunga tetap saja konsisten dan istikamah menebarkan wanginya sampai batas akhir kekuatannya.

Keempat, bunga rela mekar sekalipun untuk layu dan siap digantikan dengan generasi bunga segar berikutnya. Demikian antara lain metafora bunga yang tak pernah bosan menawarkan arahan kebijakan dalam berkehidupan.

Metafora bunga sudah seharusnya diteladani. Setiap orang harus selalu memberikan manfaat bagi orang lain sekecil apa pun. Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang paling baik adalah orang yang panjang umurnya dan banyak memberikan manfaat (hasuna 'amaluh). Sebaliknya, orang yang paling buruk adalah orang panjang umurnya dan buruk perilakunya (sa'a 'amaluh).

Pelajaran yang diajarkan bunga menyadarkan kita untuk siap digantikan oleh yang lain dan baru dengan aromanya yang lebih wangi. Regenerasi dan kaderisasi harus berlanjut secara cepat. Kader-kader muda yang mumpuni harus dihargai dan diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mendarmabaktikan dirinya dalam memajukan masyarakat dan bangsa. Sebab, jika kerakusan berkuasa terus berlanjut, berarti ia takabur dengan dirinya dan menutup rapat roda perputaran generasi berikutnya. Walhasil, seharusnya memang siapa pun layak banyak belajar dari kehidupan sang bunga. Wallahualam.
(Dra Hj Lily Musfirah Nurlaily MA/ Republika.co.id)