Senin, 28 November 2011

Amanah = Permen??

Amanah itu...
seperti permen:
Ketika sudah terlalu banyak kita memakannya, gigi kita pun sakit.
Padahal awalnya, kita sangat penasaran, ingin tahu seperti apa rasanya.

Yaa.. amanah itu selayaknya permen, banyak pilihan: permen coklat, mint, permen karet, dan rasa-rasa lain. Pertama kali berjumpa, seperti ingin mencoba, tapi ketika sudah kecewa, langsung kita memalingkan wajah dengan segera.

Tak ada salahnya kita umpamakan amanah dengan permen..
Permen itu ada karena ada penikmatnya, penikmat yang tak jera walau sering diingatkan atas segala bahayanya.
Kita ambil contoh penikmat permen sejati adalah anak-anak (misalnya). Mengapa masih juga mereka gemar mencoba permen satu ke permen yang lain, padahal sang ibu sudah berkali-kali melarang, kata sang ibu, "Jangan banyak-banyak makan permen, nanti giginya bolong!"
Namanya saja anak-anak, tetap penasaran dan ketagihan. Anak-anak itu hanya ingin menikmati permen itu saja sampai puas, sampai mereka tak merasakan lagi nikmatnya atau sampai "sumpah serapah" sang Ibu benar-benar terjadi dan mereka malu sendiri.

Kegemaran anak-anak untuk menikmati permen pasti ada batas waktunya. Kemudian bagaimana dengan amanah??
Yaaa.. kita semua pun tahu seluruh hidup kita di dunia adalah amanah, dan tentu saja ada batas waktunya. Benar sekali, ketika kita MATI, barulah amanah itu berhenti.

Semakin banyak amanah atau peran kita, memang jelas semakin sulit bahkan dapat pula sakit. Lantas kenapa? Kenapa tidak kita nikmati saja, toh kelak kita pasti akan berhenti. Entah berapa menit, jam, hari, atau berapa tahun lagi dapat kita "nikmati" amanah ini..

Mari kita belajar bagaimana anak-anak menikmati permen. Mungkin satu hal sederhana yang mereka tanam, yaitu permen itu ENAK. Mereka akan baik-baik saja mengonsumsi permen dan permen membuat mereka SENANG.

Segala PRASANGKA-lah yang membuat kita makin tua dan menjadi tidak lebih baik dari anak-anak. Nikmatilah amanah laksana permen dalam pandangan anak-anak. Tujuannya tak lain dan tak bukan sebagai bentuk syukur atas kehidupan yang diberikan Allah kepada kita.

Amanah itu yaaaa..seperti permen

Seutas evaluasi (baca: kampus)

Saat diingatkan suatu hal, kita melakukannya enggan
Bukan karena tidak bermakna atau tanpa tujuan
Bahkan alam bawah sadar mengiyakan bahwa itu harus dikerjakan..
Mungkin cukup satu alasan segala hal itu kita tinggalkan..
..,yaitu karena orang yang mengingatkan tak punya jabatan

Seringkali kita baru bergerak saat sudah ada PERINGATAN.
Peringatan tegas dari sang atasan
Bukan lagi sekadar teguran manis dari sesama rekan

Sampai kapankah kita tunduk dengan "tuntutan"?

Lupakah kita, bahwa Allah menitipkan pada kita sebuah PERADABAN...



#sungguh sangat mungkin akulah yang paling lupa akan hal itu, dan saudaraku..sudikah mereka mengingatkanku, sedang aku tlah jauh tertinggal..

Pengamen Inspiratif


Berisik amat dah..”
Itu reaksi pertama ketika kuterbangun dari tidur singkat di Deborah siang itu.

“Ihh..niy abang, suaranya lumayan asyik, sangat lepas.”
Itu reaksi selanjutnya setelah mata udah melek utuh.

“Emm..ini lagunya siapa sih yang dinyanyiin, bagus deh..”
Satu demi satu komentar dalam hati terus mengalir seiring irama yang dibawakan Si Abang Pengamen.

Si abang pengamen itu mungkin seusiaku. Memang  tidak dapat kulihat wajahnya yang menghadap ke sisi yang berlawanan dari tempatku duduk,  tapi  dari suaranya aku dapat menerka kisaran usianya. Suaranya sangat lepas mendendangkan bait-bait lagu. Sangat asyik. Dari segi vokal, sebenarnya banyak juga pengamen yang bersuara asyik seperti itu. Akan tetapi, aku mampu menangkap beberapa keistimewaan dari Si Abang Pengamen ini yang jarang sekalli dimiliki oleh pengamen-pengamen bersuara emas di bus. Apalagi ketika Si Abang Pengamen ini menyanyikan lagu Nidji (yang baru aku tahu setelah lagu hampir berakhir) berjudul “Tuhan Maha Cinta”. Suaranya menggelegar melebihi suara Giring deh, pokoknya. Yang paling penting lagi adalah suaranya tidak fals sehingga terdengar enak dinikmati. 

Si Abang Pengamen itu sangat mendalami lagu yang dibawakan. Dia tdak hanya nyanyi cuap-cuap gitu, semua badannya bergerak sambil memetik gitar. Ada yang perlu diluruskan sedikit, Si Abang Pengamen ini hanya bergerak ringan di tempat yaa, bukan mondar-mandir di dalam bus. Gerakannya pun seirama dengan nada lagu dan petikan gitar, bukan joget ga jelaas.. >_<

Aku yang saat itu hanya mendengar suaranya saja sudah ngos-ngosan, tapi suara si Abang itu sangat luar biasa karena tidak ada kesan cape atau kehabisan nafas. Tiga atau empat lagu dibawakannya dengan sangat all out, menurutku Si Abang itu nyanyi sebebas-bebasnya, serasa di ruang terbuka, dan bagiku itu positif. Positifnya apa? Coba kalo nyanyinya malu-malu, suaranya pelan, pada ga bangun tuch orang-orang di Deborah. Nyanyi bebas itu, tidak teriak-teriak yaa, harap bedakan. Contoh bersuara bebas kayak orang latihan drama gitu deh, harus lepas, jelas, dan tegas suaranya. Tentu tidak boleh sumbang karena pake suara perut. Muatan lagu yang dibawakan (Nidji_Tuhan Maha Cinta) juga dahsyat. Ini dia:

Nidji Tuhan Maha Cinta
tahukah Tuhanmu selalu hidup di dalam hatimu
cinta dariNya menjawab semua masalahmu
Dia mendengar,melihat dan selalu berfirman
perangi neraka di  dalam hatimu
damaikan jiwamu dengan cinta Dia
memberi yang ikhlas kepada yang butuh
bersyukurlah terus tanpa kenal waktu
*courtesy of LirikLaguIndonesia.net
serukan, ikhlaskan, pasrahkanlah hanya kepadaNya
cintaNya adalah jawabanNya karena Tuhanlah Maha Cinta
karena Tuhanlah Maha Cinta

         Setelah selesai dengan lagu-lagunya, Si Abang Pengamen itu menggulung koran sebagai tempat uang. Saat Abang itu mengitari satu demi satu bangku penumpang, baru kulihat keringat yang bercucuran di kepala dan badannya. Eemm, luar biasa. Ucapan terima kasih yang disampaikan Si Abang juga disertai tatapan dan senyuman terhadap penumpang yang menaruh uang ke dalam gulungan koran tersebut. 

        Banyak pelajaran yang dapat kuambil dari Si Abang inspiratif ini, mulai dari kesungguh-sungguhan, semangat, percaya diri, sampai ke adab. Jika kau ingin meraih sesuatu, lakukanlah sebaik-baiknya dan dengan kesungguhan setinggi-tingginya. Jangan kita bersusah payah memikirkan hasil akhir, berani bergerak sajalah dulu, insya Allah kekuatan dan semangat, Allah-lah yang menciptakan untuk kita nantinya. Ketika kau yakin dan percaya diri terhadap langkah yang kau ambil, orang lain pun akan mampu merasakan “ruh” itu. 

Aku merasa Si Abang Pengamen telah mampu bersyukur atas segala yang diberikan Allah padanya, lalu bagaimana dengan kita???

Kamis, 10 November 2011

Cerminan Kekayaan Budaya Indonesia melalui Didong, Rebab Pesisir, dan Pantun Kentrung*


Oleh Fitri Apriliani Lestari*, 0806466241


Setiap daerah di Indonesia memiliki kekhasan yang menandakan kehidupan sehari-hari yang dilakukan warga di daerah tersebut. Kekhasan itu dapat berupa bahasa, kepercayaan, budaya, seni, ritual keagamaan, adat istiadat, dan norma yang berlaku. Pada tulisan ini akan dilakukan pemaparan dan analisis terbatas mengenai kekhasan suatu daerah dalam hal berkesenian. Lingkup kecil pembahasannya adalah kesenian Didong, Rebab Pesisir Selatan, dan Pantun Kentrung sebagai tradisi sekaligus sastra lisan Indonesia.
Tradisi lisan adalah sebagian kebudayaan yang diwariskan turun-temurun secara lisan kemudian dilisankan, sedangkan sastra lisan adalah suatu bentuk tuturan atau muatan dalam sebuah pertunjukkan lisan yang disampaikan hanya melalui bahasa yang dilisankan. Sastra  lisan belum menjadi sebuah tradisi jika belum diwariskan turun-temurun, setidaknya tiga generasi. Selanjutnya, tradisi lisan mencakup segala hal yang dilisankan, mulai dari bahasa, mimik, gesture, alat penunjang (alat musik), dan situasi yang dibangun oleh penonton. Lain halnya dengan sastra lisan yang “hanya” memperhatikan bahasa dari sebuah pertunjukkan lisan. Pertunjukkan yang saya maksud adalah proses timbal-balik atau komunikasi langsung antara sumber dan informan lisan yang pasti selalu ada dalam proses tradisi dan sastra lisan. Itulah korelasi (perbedaan) antara tradisi lisan dan sastra lisan.
Selain tradisi dan sastra lisan, dalam ilmu kebudayaan juga dikenal istilah folklore. Menurut Alan Dundes, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya (dalam folklore Indonesia). Dalam komunitas yang memiliki corak kekahasan yang sama mereka mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. Pengertian dari lore adalah sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun menurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Lalu apakah keterkaitan serta perbedaan antara folklore, tradisi lisan, dan sastra lisan? Perbedaan serta keterkaitan antara tradisi dan sastra lisan sudah dipaparkan di atas. Kemudian kaitan kedua hal tersebut dengan folklore dapat kita titik beratkan kepada kata “lisan”. Dalam tradisi dan sastra lisan terjadi proses komunikasi atau interaksi langsung. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi dalam folklore karena cakupan folklore lebih luas, tidak sekadar lisan. Untuk memperdalam pemahaman mengenai ketiga istilah ini, kita akan masuk ke contoh kesenian yang ada di Indonesia, yaitu Didong, Rebab Pesisir Selatan, dan Pantun Kentrung berikut ini
Didong
            Gayo dikenal memiliki kekayaan dalam hal seni suara dan tari. Salah satu kesenian yang akan kita ulas adalah didong. Didong merupakan salah satu seni suara dan sastra dari Gayo yang masih utuh bertahan sampai saat ini. Formula yang terdapat dalam didong adalah tampilnya dua grup yang tiap grup berjumlah sekitar tiga puluh orang anggota yang juga sudah termasuk para Ceh. Mereka duduk melingkar pada masing-masing grup. Dalam didong terjadi saling membalas pantun antara dua grup. Formula yang terus bertahan di setiap generasi sebagai tanda bahwa didong merupakan tradisi lisan.
            Pantun yang dilontarkan pada pertunjukkan merupakan unsur dari sastra lisan. Didong sudah menjadi identitas masyarakat Gayo yang memiliki keahlian dalam bersastra atau bersyair, terutama bagi para Ceh. Identitas dan pewarisan didong atas masyarakat Gayo menandakan kesenian ini juga sebagai folklore.
             Hal-hal penting yang berperan dalam pertunjukkan didong adalah penonton dan pantun. Penonton merupakan juri yang ideal dalam pertunjukkan karena dapat menilai secara obyektif kualitas isi dari pantun yang dibawakan setiap grup. Semakin banyak dan semangat tepukan penonton akan memicu gairah tim untuk membuat pantun yang cerdas dan kreatif. Pembendaharaan kosakata juga diperhatikan dalam pertunjukkan didong.

Rebab Pesisir Selatan
Rebab Pesisir Selatan (RPS) adalah salah satu kesenian yang berasal dari Minangkabau. RPS sudah dikenal lama oleh warga yang tinggal di kawasan pantai barat selatan Sumatera Barat sampai perbatasan Provinsi Bengkulu. Saat ini, RPS sudah dikenal pula di luar wilayah tersebut, seperti daerah Padang, Solok, dan Agam. Formula yang terdapat pada RPS adalah pengisahan secara lisan suatu kaba (cerita) dengan diiringi instrumen rebab oleh dua orang penampil. Formula ini tetap sama dilakukan tiap generasi, inilah salah tanda bahwa RPS merupakan tradisi lisan. 


Kaba yang dituturkan oleh penampil merupakan unsur sastra lisan dalam tradisi ini. RPS adalah gambaran identitas Minangkabau karena dalam ceritaya dikisahkan tentang pemuda yang berusaha merintis sukses dengan merantau. Kepemilikan identitas kelompok tersebut menandakan RPS termasuk folklore. Kepemilikan tersebutlah yang menjadi daya tarik RPS karena penonton dewasa Minangkabau dapat bernostalgia tentang perantauannya dan penonton remaja dapat mengimajinasikan diri tentang perantauan.
Peran penonton sangat besar dalam pertunjukkan RPS karena pertunjukkan baru dimulai ketika penonton sudah berdatangan dan berakhir saat penonton sudah banyak yang pergi. Hal penting yang ikut berperan dalam RPS adalah instrumen yang digunakan, rebab. Pertunjukkan RPS tidak akan berlangsung tanpa penonton dan iringan rebab.

 Pantun Kentrung

            Jika dua kesenian sebelumnya berasal dari Pulau Sumatra, kini kita akan membahas kesenian dari Pulau Jawa, tepatnya Provinsi Jawa Timur, yaitu Pantun Kentrung. Penceritaan Pantun Kentrung dibawakan oleh seorang dalang kentrung dan panjak dalam sebuah acara. Acara yang dimaksud adalah perayaan tujuh bulanan, sunatan, perkawinan, ruwatan, sedekah desa, dan perayaan kemerdekaan Indonesia. Cerita yang dipaparkan bergantung pada acara yang digelar. 
Formula yang terdapat di dalam Pantun Kentrung adalah dalang kentrung yang memainkan instrumen kendang sambil bercerita, panjak yang bertugas mengiringi dalang sambil memainkan bunyi-bunyian bernama terbang, dan penanggap. Pewarisan formula ini menandakan kesenian ini merupakan tradisi lisan, sedangkan cerita yang dibawakan menandakan adanya unsur sastra lisan. Pantun Kentrung sudah menjadi identitas masyarakat Jawa Timur hal tersebut yang menjadikan kesenian ini sebagai folklore. Unsur penonton atau penanggap sangat penting, salah satunya sebagai pemyampai kritik sosial.
Pembahasan mengenai Didong, Rebab Pesisir Selatan, dan Pantun Kentrung menunjukkan satu inti yang sama, yaitu disampaikan secara lisan. Selain itu, ketiganya memiliki hubungan sebagai identitas komunitas di daerah asal masing-masing dan yang terpenting adalah semua kesenian tersebut mengalami pewarisan turun-temurun. Setiap kesenian atau kebudayaan memiliki corak khas yang tidak dapat saling menggantikan. Oleh karena itu, kita harus menghargai perbedaan formula di tiap kesenian sebagai kekayaan budaya Indonesia. Yang perlu kita sadari adalah kesenian merupakan cerninan atau identitas suatu bangsa, apabila kita mampu menghargai dan menjaganya, akan mudah kita memelihara persatuan seluruh Indonesia.

Sumber:
Danandjaja. James. 2002. Folklore Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafitti.
Endarswara, Suwardi. 2010. Folklore Jawa: Macam, Bentuk, dan Nilainya. Jakarta: Penaku.
Melalatoa. 1982. Didong: Kesenian Tradisional Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Suryadi. 1993. Rebab Pesisir Selatan: Zamzami dan Marlaini. Jakarta: Yayasan Obor Indoneia


*Esai ini merupakan tugas Mata Kuliah Sastra Lisan yang menjadi penilaian Ujian Tengah Semester.
*Penulis adalah mahasiswa semester 7 Universitas Indonesia, Program Studi Indonesia.

Kamis, 03 November 2011

Syair "Tinta"


Siang ini, aku mencarinya ke mana-mana
Tak sabar hati ingin berjumpa
Walau kemarin baru bersua
Tetap saja pertemuan kami selalu kudamba

Setelah hari beranjak petang, kudengar berita
Kabarnya dia sedang sakit tak berdaya
Langsungku telepon, namun tak diterima
Sungguh membuatku makin cemas saja

Saudariku tercinta nan sejuk dipandang mata
Kesehatanmu jangan lupa harus selalu dijaga
Agar dapat kita terus bertukar cerita
Sebelum kau menyandang gelar sarjana…
lalu meninggalkanku yang masih mahasiswa


Depok, 3 November 2011
9.20 PM