Rabu, 28 Maret 2012

Fakultas Tercinta







Alhamdulillah rasanya kuliah di fakultas super di UI.
Bukan hanya fakultasnya aja yang super, jurusannya pun “super-kuadrat”. Saya sudah niat dari lama ingin cerita tentang  jurusan saya tercinta, Sastra Indonesia, atau nama kerennya sekarang adalah Program Studi Indonesia. Akan tetapi, bukan sekarang saatnya, kenapa? Karena saya mau berkelana sepintas di FIB  dulu atau sebut sajalah cerita-cerita tetang FIB, baru kemudian cerita seputar jurusan.

Sekitar 3,5 tahun yang lalu, semenjak sah menjadi Mahasiswa FIB UI, akhirnya saya menyadari banyak hal. Pertama, sungguh deh saya sadar ternyata guru Bahasa Indonesia saya di SMA rada “gabut” atau kurikulumnya ya kah yang bermasalah? Entah, yang penting saya merasa oon deh dari segi tata  bahasa sampai pengetahuan sastranya.



Patung di area payung gdng I, FIB UI      

Hal kedua yang saya sadari adalah koleksi ilmu di otak saya sangat minim, seminim buku yang saya baca. Rada kesel sih, udah kuliah, bacanya masih males-malesan. Masih aja gitu sayang beli buku, tetapi saya cenderung sering ke perpus kok, (terus kalo sering ke perpus tandanya anak rajin baca gitu? Hehe). Meskipun sekarang sudah semester akhir, saya masih punya ambisi untuk baca buku-buku sastra di perpus. Hayooo, mumpung masih terdaftar sebagai mahasiswa UI.

Selanjutnya, yang saya sadari adalah lingkungan FIB itu ternyata saya banget: Bebas, cool, gila, dan “aneh”. Saya memandang semua itu positif-positif saja. Memang sih dengan prinsip hidup saya yang berbunyi “Dakwah adalah kita” pasti lingkungan FIB sangat bertentangan. Akan tetapi, pertentangan itu sangat mungkin menjadi tantangan, dan saya cinta sekali kompetisi..hoho. Pertentangan bagi saya adalah peluang, kesempatan, dan peringatan.


FIB.. I’m in Love

Menulis?


Sesusah apakah menulis itu?
Itu adalah satu pertanyaan yang harus ditanyakan berulang-ulang kepada diri saya sendiri. Seringkali saya merasa zalim karena tidak menyalurkan sekian banyak ide dan pelajaran yang saya temukan di perjalanan. Bahkan di banyak perjalanan yang hampir 22 tahun saya lalui.

Saya lucu sendiri jika ingat sejumlah tulisan saya yang hanya sampai setengah matang atau dapat dikatakan setengah jadi, itu pun baru berupa leksem (belum dituang menjadi kata). Bukan hanya dua-tiga tulisan, melainkan lebih banyak lagi. Sayang juga, padahal tulisan itu bagus (menurut saya, haha), walaupun saya tidak memohon plus memelas kepada orang lain untuk baca postingan saya. Bagi saya, menulis merupakan bentuk nyata dan sederhana dari pergerakan. Engkau tidak perlu menunggu kepedulian atau perhatian orang lain untuk memulai aktivitas, bukan? Betapa repotnya jika kita baru makan ketika ada orang yang dengan kasihan memberi kita sebungkus nasi atau kita harus mengemis dulu untuk bisa makan. No! Mampukanlah diri kita agar bisa makan tanpa harus menunggu pemberian orang. Tidak perlu peduli harus makan dengan apa, asal kan halal. Sama halnya dengan tema tulisan, bebaskan saja diri kita mampunya menulis apa, asal tidak menghina dan menjatuhkan orang lain.

Pertanyaan kedua yang selalu saya ulang juga, yaitu..Kenapa saya menulis?

Eemm.. mungkin karena saya butuh tulisan itu sebagai cambuk ketika saya jatuh dan sebagai pembelajaran sekaligus evaluasi tersirat bagi diri saya sendiri. Jika kebetulan ada orang lain yang membaca, saya hanya menyakini, di dunia ini tidak ada yang kebetulan. ;-)


Rabu, 28 Maret’12_di tengah timbunan deadline skripsi