Senin, 28 Mei 2012

Gak..Gak..Gaga..Gak


Ngobrolin Lady Gaga sudah tidak asing lagi beberapa pekan ini. Biasalah media, terlalu membesar-besarkan masalah. Terserah deh jika banyak orang yang berpendapat Lady Gaga adalah icon musik sekaligus seniman nomor satu di abad ini. Namun, bukan berarti menyudutkan sebagian orang yang merasa tidak suka dengan si Gaga.

Tulisan ini bukan bermaksud menyampaikan hal-hal negatif dari seorang Lady Gaga, ngapain juga. Saya yakin para fansnya sudah tahu tentang segala keburukan sosok yang dikagumi itu. Jadi, untuk apa diomong lagi. Yang ingin saya sampaikan di tulisan ini hanya berupa kesan saya terhadap tanggapan salah seorang public figure yang menyudutkan orang-orang yang anti-Gaga.

Sesampai saya di rumah saudara, channel tv yang terpasang adalah Global tv dengan acara gosip bernama focus selebriti. Berita yang diputar ya tentang tanggapan fans Lady Gaga terhadap kebatalan konser Gaga di Indonesia. Wajar jika mereka kecewa karena sudah mengantri panjang plus penuh perjuangan untuk beli tiket konsernya. Nah, dari sekian banyak komentar tentang kebatalan konser tersebut, cuma pendapat si public figure (yang saya maksud di atas) yang mengagetkan saya.

Si public figure itu adalah salah satu vokalis band “yang baru terkenal” di Indonesia. Dia bilang apa tentang kebatalan itu? “Ya kita aja, eh maksudnya beberapa orang yang ribet, kampung, yang tidak mengerti seni.  Dia itu dari Amerika, lebih pinter dari kita, dia juga tahu harus tampil bagaimana di Indonesia yang kebanyakan muslim. Dia bisa tampil tertutup, tapi tetep aneh sesuai cirinya. Yah pokoknya (yang tidak suka) kampung, sampah..”  Tentu saya pastikan redaksional yang saya berikan tidak mutlak 100% seperti perkataan public figure itu. Tetapi saya sangat yakin sekali perkataan “kampung” , “sampah”, “Gaga lebih pinter dari kita”, itu memang disampaikan.

Coba bayangkan? Berarti saya pun yang termasuk menolak kedatangan si Gaga itu kampung? Okelah, tidak masalah kalau sekadar kampung, tapi sampah? Lebih bodoh dari si Gaga? Hah, saya tidak habis pikir saja. Namun, saya sangat mengapresiasikan kejujuran public figure itu walau dia bodoh (soalnya di sendiri yang bilang orang Amerika lebih pinter).  Kalau perkataan itu disampaikan oleh abang-abang tukang parkir di warung kopi, saya tidak mempermasalahkan. Heran saya, public figure yang tampil keren di atas panggung gitu lho, ngomongnya kayak abang tukang parkir, bahkan lebih buruk mungkin.

Setiap kata yang keluar dari mulut kita adalah cerminan diri kita. Semoga setiap kata yang salah dapat segera kita perbaiki.

 (Fitri Apriliani Lestari_Prodi Indonesia UI)


Minggu, 27 Mei 2012

Dua Hal Sulit


Gempuran ide di kepala betul-betul tak terbendung. Padahal nanti siang ada Ujian Akhir Semester Bahasa Italia Dasar , tapi saya merasa (masih) harus menulis “ke-random-an” ide saya sedari kemarin hari.

Bulan Mei semakin ingin beranjak, begitu juga keinginan saya, yaitu ingin beranjak pergi dari kepungan skripsi. Akan tetapi, kini saya sadar bahwa ada dua hal yang sangat sulit untuk kita hadapi, apakah itu? Memulai dan mengakhiri sesuatu, hal itu pula yang tejadi dalam proses kreatif pembuatan karya ilmiah terbesar saya di Prodi Indonesia Universitas Indonesia (baca: skripsi).

Setelah dipikir lebih jauh, ternyata tidak sebatas dalam penulisan skripsi saja, tetapi dalam berbagai hal pun sama. Kalau dalam penulisan skripsi, saya merasa membuat dasar yang kokoh di awal penulisan itu luar biasa pusingnya dan ketika sampai di akhir ada hal yang membuat saya lebih pusing, yaitu membuat ending yang tepat. Jangan tanya tentang bagian pertengahan, karena saya sangat menikmatinya, ya menikmati setiap gempuran ide di antara kesempitan waktu.

Dalam kehidupan pada umumnya mungkin akan kita temui memulai itu lebih sulit daripada mengakhir, atau sebaliknya. Sebutlah saja belum tentu dua hal itu sulit secara bersamaan walau tidak menutup kemungkinan bisa sama-sama sulit. Saya ambil contoh pemilihan jurusan kuliah berdasarkan yang sama alami. Keputusan akhir saya memilih jurusan Sastra Indonesia ketika SNMPTN itu bukan perkara mudah. Saya berperang dulu dengan kebatuan saya, rasa gengsi, menilik pendapat orangtua, dll. Sulit. Itulah mengapa saya tidak terlalu berharap banyak saat melihat pengumuman SNMPTN.

Ketika masa kuliah telah tiga setengah tahun berlalu, saya merasa berat sekali untuk mengucapkan selamat tinggal dengan prodi ini. Saya akui bahwa di awal-awal perkuliahan, saya merasa bodoh sendiri dan salah jurusan, tetapi seiring berjalannya waktu, cinta tumbuh lebih besar dari perkiraan saya. Banyak masukan positif dan inspiratif dari dosen yang membimbing. Belum lagi warna-warni ideologi yang menyemangati diri untuk lebih meningkatkan diri.   Aahh.. memang mengakhiri itu susah. Walaupun saya harus pergi, cinta itu ‘kan tetap ada.

Sesulit apa pun dua hal tersebut, yakinlah kita dapat menghadapinya. Jangan sekadar menyakini kemampuan diri kita sendiri karena kemudahan itu belum tentu berasal dari kita. Bagi saya, berbagai kemudahan saya dapatkan karena pertolongan Allah. Ya, dengan kekuatan-Nya dapat menjadikan segalanya mudah-mudah saja dan semoga berkah.

(Fitri Apriliani Lestari_Prodi Indonesia UI)

Boys..sorry!


Dari kemarin hingga hari ini, lintasan peristiwa dan situasi banyak saya temui. Beberapa jam yang lalu  saya merasa  “over-info”  atas hal tersebut sampai mengakibatkan kepusingan di kepala, tidak fokus, dan lain-lain. Menurut saya, jalan yang tepat untuk menghilangkan ke-“over-info”-an, yaitu dengan berbagi atau menulis. 

Entah kenapa dari banyak lintasan peristiwa dan situasi yang saya alami, yang paling tertanam di kepala saya adalah LAKI-LAKI. Padahal ada hal memusingkan lain, tapi yang bikin saya iri, heran, tertarik, dan sebagainya adalah mengenai hal ini: LAKI-LAKI. Ini hanya pandangan saya saja, dari sudut pandang wanita. 

Asma Nadia menulis di salah satu novelnya berjudul  Istana Kedua, begini:  Jika cinta bisa membuat seorang perempuan setia pada satu lelaki, kenapa cinta tidak bisa membuat lelaki bertahan dengan satu perempuan.” 

Untuk saat ini saya menulis random saja deh, yang penting tersalurkan kepusingan saya.
Sedikit informasi, saya masih suka kok dengan lelaki dan bagi saya: Lelaki itu bukan untuk dibenci, melainkan untuk diwaspadai (untuk yang belum bersuami ya!)

Ini tentang sebongkah hati, di usia tanggung atau sedang mencari jati diri
Ya, masalah hati dari sisi berbeda, yaitu antara perempuan dan laki-laki
Jika perempuan terkesan cukup berhati-hati dengan hati
Lain halnya dengan laki-laki
Walau kita semua sadari masalah hati merupakan hak asasi

Kini saya hanya ingin berujar tentang laki-laki
Agar segala perempuan dapat mempersiapkan diri

:Dia pintar sekali membangun mimpi
Diumbarlah berbagai janji-janji
Katanya gunung tertinggi akan didaki
Luas samudra akan disebrangi
Karena cintanya tidak mengenal tepi
Ooh, dia pun mengungkapkan bahwa dirimu bak peri
Satu-satunya wanita tempat berlabuhnya cinta sejati

Lalu kau percaya kata-katanya dan terus menanti,
kata-kata indahnya yang menjadikanmu serasa permaisuri,
dengan cepat memasuki hatimu yang kauanggap tak sepi
Namun, ketika kau terlambat sadari
Segala romansa yang dia beri hanya buaian tiada pasti
Serta berapa saat lamanya dia pun entah kemana pergi
Tanpa jejak sehingga tak dapat kau cari
Kemudian kau kan bingung sendiri
Ingin melupakan, tapi dirinya di hatimu telah terpatri
Sudah, tak ada lagi yang mesti kau sesali

Yakinlah lelaki sejati bukanlah pemilik ribuan janji
Yang mudah berpindah dari satu hati ke berbagai hati
Jangan gampang menyerahkan hatimu untuk sepotong mimpi
Jika belum terucap satu janji di hapadan wali dan saksi,
..dan dilakukannya semata karena illahi Rabbi


~aku yang mungkin saja termasuk kau
27 Mei 2012, 9.52 PM
(Fitri Apriliani Lestari_Prodi Indonesia UI)

Kamis, 24 Mei 2012

SIAPA SURUH “pergi” JAKARTA


Selalu timbul di pikiran saya, kenapa orang-orang Indonesia merasa harus datang ke Jakarta? Apalagi jika kita lihat sehabis lebaran Idul FItri,  yang tadinya pulang kampung sendiri, pas balik lagi ke Jakarta bertiga akibatnya tiba-tiba ada razia KTP dan sebagainya. Alasan orang-orang di luar Jakarta ingin datang ke Jakarta beragam dari yang sekadar jalan-jalan lihat monas sampai yang paling umum adalah mencari kerja.

Yup, mencari kerja. Saya harus membenarkan memang di Jakarta itu apa saja dapat diuangkan. Sampah, bisa diuangkan dengan jadi pemulung, beras beberapa butir plus botol air mineral kosong, bisa diuangkan dengan mengamen, bahkan yang hebatnya lagi mata melas, tampang lusuh, ditambah baju compang-camping bisa diuangkan dengan mengemis. Tuh, semua kerjaan ada di Jakarta. Bukan kerja biasa, itu semua kerja kreatif.

Jakarta: Wajah Indonesia?
Jika benar Jakartalah wajah Indonesia, sedih sekali hati saya. Sebagai orang –yang bisa dibilang—Jakarta asli (karena emak-babe, nenek-embah, dan kumpi lahir di Jakarta), saya prihatin jika Jakarta adalah kiblat Indonesia. Saya saja merencanakan pergi ke luar Jabodetabek, serta tinggal di daerah lain selepas kuliah. Kenapa? Karena rutinitas dan gaya hidup di Jakarta sudah menjemukan bagi saya.

Terus terang, saya sebagai mahasiswa program studi Indonesia UI, yang diajarkan tentang lokal genius, kebudayaan Indonesia, filosofi dari berbagai kesenian di Indonesia, tidak menangkap nilai-nilai khas Indonesia ada di Jakarta. Saya penasaran sebenarnya nilai-nilai tersebut yang sudah berubah atau “si Jakarta” ini yang bermasalah. Kalau kita berpikir wajah Indonesia adalah Jakarta, berarti nilai-nilai tersebutlah yang terkikis habis. Wah, berarti di kuliah para dosen menceritakan sejarah Indonesia zaman dulu. Benarkah?

Untuk orang-orang yang ingin datang ke Jakarta, lebih baik jangan meneruskan membaca tulisan ini . Saya akan mengungkap nilai-nilai “luhur” di Jakarta yang dianggap sebagai hal yang biasa.

1.      Boros waktu
Hal yang terkait pemborosan waktu sudah menjadi umum di Jakarta, apalagi kalau bukan kemacetan.  Eits, ada lagi selain macet, khususnya bagi pengguna bus transjakarta pasti mengalaminya, apakah itu? Mengantri di halte busway yang panas serta pengap. Saya punya cerita tentang ini. Berapa waktu yang dibutuhkan dari halte Rawa Buaya, Cengkareng ke Juanda? 1,5 jam jawabannya, padahal saya naik bus transjakarta. Huuuf.
Bayangkan, itu baru perpindahan dari Jakarta Barat-Jakarta Pusat.
            Seharusnya bisa saja engga boros-boros waktu amat, seandainya tidak berdesak-desakan, kita bisa memanfaatkan waktu untuk baca buku, belajar, dsb. Tapi kalau tidak nyaman serta was-was dicopet, ga bisa juga kan? Saya salut sama orang-orang yang setiap hari menggunakan jasa transjakarta, sabar bener menderita.  

2.      Berebut kekuasaan
Setiap orang berhak mencari kuasa, tidak salah. Terlebih lagi, berkuasa dalam rangka membenahi pemerintahan yang bobrok, sangat positif dan mulia. Sayangnya di Jakarta orang-orang pinternya rada kepinteran sehingga hal yang wajar (mencari kekuasaan) menjadi tidak wajar. Salah satu ketidakwajaran yang sudah umum adalah politik uang yang berakibat korupsi.
            Tidak semua elemen melakukan ketidakwajaran, tapi sudah terlalu umum sampai susah dicari mana yang jujur. Namanya orang pinter, hal yang tidak wajar bisa dicari teornya biar wajar. Seolah-olah kekuasaan adalah segalanya dan harus banget dicapai, sampai lupa akan kekuasaan Allah yang Maha. Buktinya banyak yang me”nomorsekian”kan kejujuran.

3.      Materialistis dan Sensasional
Bukan salah Syahrini yang pengen terkenal sampai harus buat sensasi. Kenapa jadi ke Syahrini? Karena dapat dikata dia kali ya yang terkenal akan sensasionalnya saat ini.  Di Jakarta sebagian besar dinilai dengan apa yang kamu punya. Contoh kecil, ketika riweh ada isu ketidak”shahih”an penggunaan Blackberry, langsung berita heboh mengabarkan bahwa hal itu tidak adil. Setiap televisi mengabarkan tentang isu itu aja, padahal saya yakin di Indonesia tidak lebih dari 10% yang punya Blackberry. So?
            Warga Jakarta demen deh hal-hal yang terkait sensasi. Mungkin bisa aja kita bilang, “Ah..dia mah cuma nyari-nyari sensasi.” Tapi setiap hari, toh, kita menikmati sensasi orang-orang tersebut dari tv, fb, dan twitter. Yah, sama yang ditonton sama yang menonton. Hal yang paling mahal saat ini di Jakarta, bukan lagi Mercedes Benz, Ferrari, kilauan emas berkarat-karat, bukan! Yang paling mahal sekarang adalah kesederhanaan.

4.      Gila hormat, pamer gelar
Kalau hal yang satu ini hampir dapat dikaitkan dengan kekuasaan, materialistis, dan sensasional. Begini alurnya, pertama beraksi biar menimbulkan sensasi dan terkenal secepat kilat. Jika sudah terkenal, tiba-tiba kekuasaan lebih mudah didapat. Kalau kekuasaan telah terjangkau tangan materi akan datang dengan sendiri. Tujuannya tidak lain biar dihormati, diteriakin, “ wiih hebatnya…” Mudah bukan? Perlu contoh, memang profesi apa sih yang mudah bersensasi kemudian terkenal? Artis. Nah, kita lihat, banyak artis sekarang di DPR, Wakil Gubernur, sampai Bupati. Kemampuannya? Wallahu’alam.
            Lagi, lagi ingin berbagai cerita seputar  kampus, tapi kali ini tentang pamer gelar. Ini lingkupnya kampus ya, baru kampus. Kalau mau acara kita didatangin banyak mahasiswa, sang pembicara harus dahsyat gelarnya, misalnya, acara selevel fakultas menghadirkan ketua BEM UI atau Mapres UI, nah kan keren tuh. Coba dibandingkan jika pembicaranya petugas penjaga ruang BEM dan staf penjaga perpus, kira-kira ada yang datang tidak, mungkin dikit kali ya.
            Saya sama sekali tidak menyalahkan orang yang ingin jadi ketua BEM atau Mapres, tidak, karena memang sah-sah saja. Bagaimana pun itu urusan tujuan masing-masing orang. Yang saya sorot sebenarnya adalah kita ini, sebagai penonton yang menikmati kegemilangan orang lain, padahal orang bergelar banyak mungkin saja tidak lebih mulia daripada orang yang tanpa gelar. Yah, apa mau dikata.

Tulisan ini tidak sepenuhnya cerminan utuh nilai-nilai di Jakarta. Sebut saja sebagian besar pandangan orang terhadap Jakarta. Yang namanya nilai, ada yang masih mempertahankan, ada yang ribet mempertanyakan, bahkan ada juga yang sudah meninggalkan. Bagi kalian, lebih baik mana?

(Fitri Apriliani Lestari_Prodi Indonesia UI)