Senin, 27 Agustus 2012

Lintasan Sore Hari

Lagi, jemu itu dihantarkan melalui sebaris melodi
Terus-menerus sepi menusuk kekakuan sanubari
Kemudian luka mengalun di antara kekosongan-kekosongan hati

Di mana nuansa yang pernah membuat diri berarti?
Yang kullihat hanya potongan wajah sedih sendiri.

5.42 PM


Khutbah terdengar dari atas udara gereja
Menjalar hingga sampai di tempat kukerja
Entah apa yang disampaikan sang pendeta
Hanya suara seorang bapak tua yang tak tereja
Kini kuterduduk malas di belakang meja
Melonjorkan kaki karena bingung harus berbuat apa
Mungkin hingga malam, ku hanya akan bermesraan dengan kata
Ya, dengan kata kuhidupi hariku yang hampa
5.55 PM


ketika senja tiba membawa malam pada 26 Agustus 2012
~FAL

Sabtu, 25 Agustus 2012

It's All about Dream

Film Perahu Kertas mengingatkanku tentang sebongkah mimpi.

Menohok bagiku karena sang tokoh utama diceritakan seorang mahasiswa fakultas Sastra dengan mimpi gilanya. Mimpi itu harus dia kubur karena terbentur realitas. Sampai suatu saat dia bertemu dengan seseorang yang dapat mengembalikan kepercayaannya untuk mewujudkan mimpi gila itu. 

“Tidak semua orang dapat menjadikan hobi sebagai profesi.”

“Antara putus asa dan realistis memang berbeda tipis.”

Mimpi yang terbentur realitas. Hal itu yang sedang aku alami. Meninggalkan (sementara) passion dalam diri yang kusebut mimpi, untuk menjelajahi sebuah realitas. Bedanya aku dengan sang tokoh utama dalam Perahu Kertas adalah dia sudah menemukan orang yang dapat menyalakan api mimpinya, sedangkan aku belum. Akan tetapi, aku tidak perlu menunggu dukungan dari orang lain karena cinta akan membuatku kembali, kembali pada mimpi, mimpi yang sesungguhnnya.

Mimpi yang kutemukan dari orang-orang hebat yang terdapat di gambar di bawah ini dan seorang dosen lagi yang belum terambil kamera. Thank you for coming in my life.

 
Tanggal 4 Juli 2012, di Ruang 6101 FIB UI                         




Lantas, di saat  aku tertatih menjelajahi realitas, siapakah yang 'kan menyalakan api mimpiku itu? Takdir pasti akan menjawabnya nanti. Namun, sekarang aku tak peduli.



26 Agustus 2012, 
Fitri Apriliani Lestari
 

Kamis, 23 Agustus 2012

Mungkin Harapan

Kau datang ke rumahku tanpa bunga-bunga
Berbekal keberanian dan pinjaman motor tetangga
Kau ungkapkan lamaran kepada ayah bunda

Usia muda tak menjadikanmu putus asa
Demi mewujudkan niat suci nan mulia
Harta melimpah serta rumah mewah memang belum kau punya
Tetapi kutahu bahwa cintamu istimewa

: bukan sekadar cinta yang diperjuangkan Rama dan Sinta
  atau seperti cinta dramatis Remeo- Julia
Bagiku tak berguna pula iri dengan Galih dan Ratna
   yang telah menjalin cinta dari SMA

Karena cintamu itu adalah sebentuk cinta berbeda
Cinta yang tak sebatas untaian perhiasan dunia,
dengan harapan akan terus kita bawa hingga ke surga


22 Agustus 2012 ~FAL

Bukan Curhatan

Ya, Kamu..
Yang selalu mengaku mencintaiku selalu

Kapan kau datang mengetuk pintu rumahku?
bersilaturrahim kepada ayah-ibu
menyampaikan lamaran beserta meminta restu
agar akad nikah segera kita tuju.

Memang belumlah lama kita bertemu
Namun, bukankah hati kita telah menyatu?
Adakah beberapa hal dariku yang membuatmu ragu?

Janganlah karena mahar kau menjadi malu
Tentang rizki hanya Allah Yang Maha Tahu
Tegakah kau membuatku lebih lama menunggu
terdiam selayaknya beberapa waktu lalu
Sungguh, jika kau masih saja tergagu
...
Relakan aku membuka lembaran baru
serta mengubur dalam-dalam janjimu yang palsu



22 Agustus 2012, ~FAL

Tentang Pencarian Nafkah (sesi inti)

Masih haruskah mengedepankan idealistis dengan segenap egoistis dalam meraih rizki Allah?
Akankah berlaku hitung-hitungan akal dalam mengatur titian takdir Yang Maha Kuasa?

...
Suatu sore pada tanggal 13 Juli 2012, hari Jumat tepatnya saat itu, saya lesu sekali keluar dari sebuah mal di wilayah Jakarta Barat. Lesu bukan karena kecapean mengelilingi mal yang besar itu, bukan, melainkan hanya karena sebongkah kekecewaan. Kekecewaan yang berhasil mengubur harapan saya untuk sesegera mungkin dapat bekerja. Hari itu adalah hari pertama saya mengikuti job fair. Dari sanalah saya menyadari bahwa pekerjaan yang ditawarkan dalam job fair hampir 100% membuat saya ogah banget berstatus sebagai karyawan. Tidak heran dari puluhan perusahaan yang membuka lowongan, hanya satu saja yang saya singgahi. SATU saja dengan posisi yang umum, bahkan perusahaannya pun tidak bergerak dalam dunia yang saya ingini. 

Lantas, apakah saya menduga ternyata SATU perusahaan beserta posisi itulah yang saya geluti sampai saat  ini (hampir sebulan lamanya)? Sungguh, saya tidak menduga sejauh itu. Untuk mencapai waktu tiga minggu di perusahaan ini saja saya harus menjalani proses pendewasaan yang tidak mudah. Lebih tepatnya dikatakan proses pengikhlasan dan pengorbanan. 

...
Semenjak mengikuti job fair dan berakhir dengan kekecewaan. Saya mengandalkan pencarian kerja melalui situs lowongan kerja di internet. Tentu saja dengan lingkup spesifikasi yang saya inginkan. Empat sampai lima perusahaan dengan posisi yang diidam-idamkan saya kirimi CV beserta surat lamaran dengan format yang sudah tersedia. Beberapa hari setelah saya kirimkan CV, ponsel saya mendadak banyak panggilan dari nomor tak dikenal, tentu untuk wawancara, tes, dan sebagainya. Betapa bahagianya mengatahui bahwa perusahaan yang pertama kali merespon CV saya adalah perusahaan yang menawarkan posisi sebagai content writer. Perusahaan itu terletak di wilayah sibuk, Senayan. Akan tetapi, setelah saya mengkroscek lebih lanjut, ternyata sudah banyak kasus penipuan yang dialami calon pelamar kerja di perusahan itu. Alhasil, saya pun membatalkan niat untuk mendatangi kantor tersebut, maklum masih cari aman. 

Ada pula perusahaan yang bergerak di bidang periklanan yang menjadi fokus saya setelah melupakan posisi content writer. Perusahaan itu cukup terkenal sehingga saya tidak terlalu memikirkan posisi yang sesuai dengan harapan "idealis". Saya semakin tertantang dengan proses penerimaan final perusahaan tersebut yang tidak mudah. Tes psikotesnya saja sangat menguras pikiran, tangan, ketelitian, dan kecepatan. Mantaplah, Plan A saya adalah perusahaan periklanan tersebut. Namun, setelah seminggu psikotes, panggilan lanjutan tak lagi ada, sedangkan perusahaan SATU temuan dari job fair kian serius. Sangat serius.

Saya kemudian pesimistis diterima di perusahaan periklanan itu. Jadi, saya segera menyiapkan berkas-berkas untuk finalisasi di perusahaan SATU temuan dari job fair, dapatlah dikatakan setengah hati. Akan tetapi, tubuh  ini terlalu busuk untuk sekadar teronggok di dalam rumah. Bismillah.. sebagai batu loncatan pertama saja. Tepat tanggal 31 Juli 2012, dengan membawa berkas lengkap finalisasi, sekitar pukul setengah lima sore, kontrak kerja pun saya tanda tangani. Apakah saya sadar saat itu? Tentu saja sadar, hanya saja saya tidak merasa bahagia selayaknya orang yang pertama kali diterima kerja secara profesional. Saya merasa biasa saja. Mungkin karena saya masih menyimpan rapi keidealisan dalam hati saya. 

Beberapa hari bekerja, saya jenuh. Hati saya selalu berontak, begini katanya, "Bete banget ini kerjaan, aku ga sesuai sama pekerjaan ini, sabtu-minggu ga libur, haduuh." Tiba-tiba perusahaan periklanan yang telah dua minggu mendiamkan saya, meminta saya untuk kembali datang untuk wawancara lanjutan. Ahaa.. senangnya. Ini nih memang jatah saya. Saya berpikir plan A masih dapat terlaksana.

...
Namun, Allah menginginkan lain.
Saya harus menjinakkan keegoisan saya, memberi kelapangan kepada jiwa untuk mengenal arti IKHLAS.
Sampai akhirnya saya tahu bahwa yang saya ikhlaskan dan yang saya korbankan hanyalah sebuah keidealisan yang harus berubah menjadi kebermanfaatan. Proses pendewasaan ini ternyata belumlah seberapa, jadi Allah ingin saya belajar lebih, BELAJAR lebih. 


~Fitri Apriliani Lestari

Minggu, 19 Agustus 2012

TENTANG PENCARIAN NAFKAH (prolog)

Saya masih teringat pernyataan seorang teman kampus beberapa pekan sebelum saya ujian skripsi (baca: sidang). Dia berkata begini kira-kira, "Ngapain cepet-cepet lulus kalo belum jelas rencana setelah lulus!"

Pernyataan itu keluar dari mulutnya setelah dia mengajukan pertanyaan tentang rencana saya setelah lulus. Jawaban saya saat itu  memang tidak memuaskan baginya, terlalu tidak jelas mungkin rencana saya. Kalau boleh berkata jujur sih, agak tidak rela cepat-cepat melepas status mahasiswa. Bagaimana tidak, jadi mahasiswa itu enak, penuh mimpi-mimpi indah nan idealis, serta strata yang paling nyaman menurut saya. Akan tetapi, amat egois jika mau berlama-lama menjadi mahasiswa. Dunia realita telah menunggu. Si Kakak yang membiayai ongkos pun telah berkoar-koar supaya saya cepat lulus. 

Teman-teman kuliah bahkan pembimbing skripsi pun menyangka rencana saya pascakampus adalah "langsung" menikah. Lelaki malang mana yang mau menikahi saya saat-saat ini? Itu suara batin saya. Bukan, bukan. Bukan pernikahan yang ada di benak jangka pendek saya setelah menjadi sarjana. Cuma terlintas satu rencana, yaitu KERJA! Belum terpikirkan saat itu pekerjaan macam apa yang saya akan tekuni. Idealnya sih di area perbahasaan, entah itu menjadi guru bahasa (seperti yang dianggap para teman atau adik kelas di SMA), editor, tulis-menulis, atau dunia jurnalistik. Namun, saya merasa dunia kerja itu tidak harus seideal dunia kampus, saya pun membuka peluang untuk belajar dunia yang baru. 

Saya sudah pernah berkecimpung di dunia pendidikan. Walaupun hanya sebagai guru bimbel atau privat, saya setidaknya tahu formula pengajaran yang baik itu seperti apa. Lebih banyak sedihnya jadi pengajar bimbel bahasa Indonesia itu. Sakit hati pokoknya. Visi bimbel dengan visi saya sebagai pendidik bahasa dan kebudayaan Indonesia tidak menyatu. Oleh karena itu, mencoba hal baru adalah pilihan yang lebih baik.

Lalu saat ini.. saya menemukan keluarga baru di tempat kerja dengan segala realita kehidupan yang sederhana dan... begitulah. Sebuah pekerjaan yang tidak pernah saya sangka sebelumnya. Pekerjaan yang kembali mempertemukan saya dengan bidang IPA. 

Cinta itu tak terletak pada kesan pertama karena cinta itu adalah proses. Proses pembelajaran untuk mencintai seikhlas hati.


Senin, 2 Syawal 1433 H