Minggu, 29 April 2012

Sepenggalan Kisah Raker FASI 2012


Satu panggilan tak terjawab pukul 04.04 dari Yoga,2 tertera di ponsel saya.
“Hah, ngapain nih Yoga nelpon sepagi ini?”
Setengah sadar saya bertanya kepada diri sendiri dan saat itu waktu menunjukkan sekitar pukul 04.10. Tentu bukan disengaja saya tidak ingin mengangkat telpon, tapi  memang saya tidak mendengar suara deringan ponsel yang saya taruh di dalam kamar, sedangkan saya terlelap di ruang luar (musola).
Ingin hati me-SMS Yoga dengan singkat : “Apa?”
Tapi sayang, daya tarik tempat tidur terlalu kuat dan tangan saya pun tidak bisa bergerak sendiri untuk SMS atau menelpon balik. Akhirnya, saya meletakkan tubuh di kasur, tepat di sebelah Lili, sambil tetap menggenggam ponsel. Dalam beberapa menit saya menggigil kedinginan di atas kasur dan sulit terlelap. Namun, menit-menit sesudahnya saya kian lupa  dengan panggilan telpon dari Yoga, serta niatan untuk SMS pun tersapu oleh kantuk.

Lalu sekitar pukul 04.40…

“Ukh, empat laptop ikhwan ilang dan barang-barangnya juga.”
Sejurus saya dan Lili bangkit dari tidur dengan kaget mendengar satu kalimat yang terucap jelas, cepat, dan lumayan keras oleh Nadroh. Sungguh itu adalah cara bangun yang terkaget dan terdeg-degan sekaligus tercemas yang pernah saya alami. Nadroh pun dengan langsung menjelaskan semua ponsel ikhwan hilang, kecuali ponsel Yoga. Tas dan barang-barang lain yang terlepas-badan dengan para ikhwan itu pun raib. Saya hanya mampu terbengong-bengong cemas saja saat itu, bahkan untuk mengendalikan deguban jantung pun saya tidak mampu lagi. Selain bengong, saya juga hanya mampu membatin: “Kok bisa?”
               Nadroh pun berkata lagi, “Kata Yoga coba dicek akhwatnya ada yang kehilangan atau engga dan jangan keluar dulu sampai ada info lebih lanjut.”
                Saya masih nge-blank percaya tidak percaya atau mengharap ini cuma mimpi saja ketika Nadroh keluar kamar. Akan tetapi, Lili mulai membangun percakapan dengan saya bahwa bagaimana bisa kita selesai diskusi raker pukul 01.30 lalu selang beberapa jam barang-barang sudah hilang. Dari percakapan itu barulah sadar saya: Ya, ini BUKAN mimpi.
Para ikhwan memang beristirahat/tidur di ruang presentasi raker yang tempatnya merupakan aula terbuka ber-AC (AC=Angin Cepoi-cepoi), tapi kita tidak menaruh curiga tentang keamanan dan lain sebagainya. Setelah ngobrol ringan dengan Lili, saya keluar kamar untuk memastikan kalau kondisi di akhwat baik-baik saja atau tiada kehilangan apa pun. Saat keluar kamar pun, tampang saya ternyata menggambarkan kecemasan. Buktinya setelah saya membangunkan Annisa dan Afina untuk salat Subuh, mereka berkata, “Kenapa, Ka?”  Langsunglah saya menceritakan sekilas dan menyuruh segera salat Subuh. Antrian wudhu salat saat itu diwarnai kecemasan dan segala pertanyaan. Saya dapat merasakan semua akhwat diliputi pertanyaan: “Hah, hah, kok bisa?”
Seusai salat Subuh, para akhwat membuka diskusi terbuka tentang “peristiwa sebelum subuh para ikhwan” di kamar tempat saya dan Lili. Tentu saja narasumbernya adalah Nadroh. Di situ barulah agak lebih jelas kisah utuh, kronologis, serta barang apa dan milik siapa saja yang hilang. Ada satu yang unik di pikiran para akhwat, apakah itu?
Alhamdulillah laptop Taufan tidak hilang.
           Kenapa satu hal itu yang ada di pikiran akhwat sebenarnya wajar saja secara semalam Taufan sebagai MC, kami—para akhwat—mengetahui bahwa laptop Taufan asli merek Apple dan kami tahulah kisaran harganya. Walaupun memang lebih jelas, tetap saja masih ada saja pertanyaan-pertanyaan yang belum kami ketahui saat itu, misalnya kunci motor bagaimana, tindakan yang dilakukan apa, dll. Setidaknya dari diskusi itu kami memcoba menggali beberapa hikmah. Begitulah, sampai muncul pertanyaan dari Lili, “Terus gimana ya timbulnya? Berarti ga jadi kan ya?” Sebenarnya Lili pun sudah tahu jawabannya dan saya hanya membalas dengan senyum ringkas saja.
                Kegiatan yang tidak boleh berubah dari jadwal karena ada peristiwa sepahit apa pun adalah MAKAN. Setelah diskusi terbuka itu, beberapa akhwat terpencar, beberapa ke atas (liat-liat situasi), beberapa ke kamar masing-masing, dan beberapa ke dapur, termasuk saya.  Tempat boleh berpencar-pencar, tapi obrolan tetap sama tentang “peristiwa sebelum subuh para ikhwan”. Semakin diulang tentang peristiwa itu semakin merindinglah saya. Di pikiran kami berkecamuk antara, itu orang siapa sebenarnya yang ngambil, kerugian yang dialami, sampai skripsi yang kemungkinan datanya ada di dalam laptop (maklum deh, para akhwat orientasi skripsi, padahal di ikhwan wallahu’alam).
                Acara belum berakhir ternyata, sekitar pukul 09.30 kami berkumpul di tempat kejadian perkara “peristiwa sebelum subuh” atau sebut sajalah aula ber-AC.  Semua bidang sudah presentasi sampai dini hari semalam, tetapi Pengurus Inti (PI) dan Badan Pembina (BP) belum, jadi di saat itulah kesempatannya. Situasi memang lebih diam dan beberapa ikhwan pun sedang mengurus laporan di kantor polisi. Agenda raker berakhir sekitar pukul 11.00, tetapi itu belum termasuk cuci piring bekas makan ikhwan dan peralatan lain. Ada lagi, air di tempat akhwat mati sehingga wajarlah baru betul-betul rapi setelah beberapa menit menuju pukul 12.00, itupun kami menunggu angkot carteran dulu. Pas sekali adzan Zuhur berkumandang, angkot carteran datang dan para akhwat langsung naik, kecuali Erni yang membawa motor, sedangkan para ikhwan bermotor itu salat  Zuhur di Villa.
                Di dalam angkot carteran, saya hanya mampu mengamati  wajah-wajah lelah akhwat. Saya yakin raker tahun ini, atau dapat disebut, raker FASI terakhir saya (sebagai BPH) adalah raker “teristimewa” dari Allah. Peristiwa miris yang terjadi saya kolaborasikan dengan ingatan-ingatan ketika Ghunarsa, Taufan, dan Lili dalam syuro PI memperjuangkan raker FASI di luar Jakarta dengan sangat maksimal, mampu mendidihkan keharuan saja di sepanjang perjalanan pulang.  Kita hanya mampu berencana dan ternyata rencana kita diperindah oleh Allah. 

Untuk teman-teman yang menjadi korban “peristiwa sebelum subuh”: Ghunarsa, Budi, Yoga, Taufan, Gama, dan k Fadhil, kemudian teman-teman yang ikut merasakan kecemasan di TKP: Nadroh, Erni, Shifa, Afina, Lili, Latansa, Anun, Citra, Annisa, Fika, dan tak lupa juga teman-teman yang jasadnya tak hadir raker, namun semangat dan doanya sampai pada kami, ada ucapan dari saya.
Saya yakin Allah sangat mencintai kalian semua dan semoga Allah pun mencintai saya karena telah mencintai kalian.

~semangat beramal jamai di FASI 2012, saudara/iku..

Minggu, 15 April 2012

Antara Kepenulisan dan Kelulusan


Saya harus menulis lagi. Semakin dekat dengan kelulusan sebagai sarjana sastra atau sebutlah sarjana humaniora saya semakin harus gencar menulis. Eits, tapi bukan menulis CV buat lamaran kerja nanti, lho. Bukan itu!

Saya ingin melancarkan “serangan mimpi” ke alam nyata. Setelah akhirnya 22 tahun bertempur dengan segala pertanyaan tentang ke mana harus melangkahkan kaki, tibalah waktunya menentukan pilihan. Pilihan yang paling baik—semoga baik juga menurut Allah—adalah melalui kepenulisan. 

Ya. Ini terkait pilihan profesi atau bidang pekerjaan selepas menjadi mahasiswa. Insya Allah kepenulisanlah yang saya pilih setelah agak lama bergulat dengan waktu dan profesi-profesi lain. Akan tetapi, masih mengambang sebenarnya menulis apa? Apa ya enaknya? Yang berawal dari hobi, kemudian menghasilkan duit yang  berlimpah. Eh,eh, tidak perlu belimpah sebenarnya, asalkan bisa buat sangan, pangan, papan, jalan, infaq, dan beli buku per bulannya. Oia, satu lagi, buat tabungan haji dan anak pun juga deh.  

Apakah saya bakal mencoba daftarkan diri ikut CPNS?
Itu kayaknya menjadi peluang yang cukup besar deh. Sebenarnya, aku mau-mau aja asalkan tetep bisa nikah di usia 23 plus bisa keliling Indonesia. Kira-kira bisa ga ya? Kalo semisalnya tidak memungkinkan, aku yakin rizki Allah terbuka di mana saja. Allah yang akan memberi kita rizki kok, bukan manusia. Dengan keyakinan itulah, aku memilih untuk fokus di ranah profesi yang lebih free, menyenangkan sekaligus menegangkan, tapi sarat pembelajaran dan penuh manfaat dunia-akhirat. Uhuy banget yaa. Insya Allah yang bersesuaian dengan kepenulisan.

Apa sih yang dimaksud “kepenulisan,” Fit?
Nah, kepenulisan itu ya yang berhubungan dengan “tulis-menulis”. Perlu ditekankan memang, bukan “edit-mengedit” ya. Karena saya lulusan sastra Indonesia, insyaAllah yang mengedit tulisan saya adalah diri saya sendiri. Akan tetapi, saya maunya mengedit tulisan sendiri, bukan tulisan orang lain, kecuali suami saya seorang penulis juga, pasti saya yang editin tulisan dia hehe. 
Sebenarnya ranah kepenulisan itu banyak macamnya, contoh, jika tulisannya ilmiah, profesinya bisa saja dosen peneliti, staf dalam suatu kelembagaan, ilmuwan, juru tulis kepresidenan atau yang berbau lembaga struktural juga bisa. Ada pun tulisan yang populer saat ini adalah tulisan jurnalistik yang mengulas serba-serbi infotanment, gossip, kuliner, travel, atau berita  lainnya.
Lalu, kepenulisan jenis apakah yang akan saya pilih? Sayangnya, saya belum mau serta mampu menjawab selama Allah belum memberi clue kepada saya. *nyengir dikit deh

Profesi sebelumnya sebagai pengajar bimbel dan privat, bagaimana kelanjutannya?
Haruskah dilanjutkan? Pertanyaan yang melahirkan pertanyaan baru, ini memang “gaya” favorit saya. Kalau ada yang dapat menembus relung batin saya yang terdalam, pasti pertanyaan tersebut dapat terjawab dengan mudah. Bismillah, jawaban saya saat ini adalah saya ingin membiarkan “mimpi” saya menaungi kenyataan saya mendatang, dan menjadi pengajar itu bukan mimpi saya.
Saya ingin menjadi pendidik, bukan pengajar. Yang perlu ditekankan adalah, bimbel atau les privat itu tidak membutuhkan pendidik. Satu hal lagi, saya tidak ingin menjadikan “pendidik” sebagai profesi. Mendidik sebuah generasi adalah keharusan bagi saya.
Lantas apakah profesi saya sebagai guru saja. Untuk saat ini saya tidak dapat mengatakan saya tidak mau menjadi guru. Akan tetapi, saya harus katakan, berprofesi sebagai guru, bukan mimpi saya. Sungguh, saya tidak pernah memandang sebelah mata profesi yang paling mulia ini. Tidak sama sekali. Mimpi saya yang terkait pendidikan formal adalah saya harus punya sekolah. Semoga terjawab sudah. *senyum dulu deh

Sepertinya saya harus banyak “membaca”, mendengar, dan mengamati agar langkah ini semakin pasti menuju ridho Illahi Rabbi.

Tetap semangat, dan jagalah terus mimpi itu.

Rabu, 11 April 2012

Nah, inikah masalah


Bismillah..

Kadang kita terjebak dengan kata “masalah”. Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan masalah? Saat ini saya sedang males sekali mendefinisikannya sesuai kamus, jadi saya definisikan sesuai yang saya alami saja.
Sedikit mencurahkan rasa, beberapa hari belakangan memang ada pikiran dan sikap orang lain yang sangat mengganggu saya, kemudian ditambah aura negatif yang membuat saya lebih “jatuh”. Bahkan jika saya masih terbawa kesensitifan, saya mungkin dapat dikatakan masih “jatuh” hingga saat saya menulis –apalah namanya—ini. Lalu, apakah segala gangguan itu, yang dinamakan masalah?
Sebenarnya tulisan ini bukan dimaksudkan untuk  mencari tahu dan mengubek-ubek sebuah definisi tentang masalah, tidak sama sekali. Mari kita anggap sajalah yang saya alami belakangan ini betul-betul bernama masalah. Ketika kita dalam kondisi bermasalah itu, begitu sulitkah untuk bangkit?
Pada umumnya, ketika menghadapi gangguan sedikit saja, kita sudah merasa seperti orang yang paling menderita di dunia. Ambil contoh diri saya sendiri. Yang saya lakukan “pas pertama kali” ketemu gangguan itu, saya  bisa nangislah, nyanyi teriak-teriak ga jelaslah, jalan-jalan ga tentu arahlah, semata-mata untuk meluapkan emosi dan menenangkan diri, sebentar saja. Saya merasa wajar untuk mengembalikan ritme jiwa. Akan tetapi, hal-hal yang saya sebutkan tadi (nangis, nyanyi, jalan) tidak memiliki kekuatan untuk membangkitkan diri saya dari –anggaplah—ketepurukan.
Ternyata memang hanya satu yang dapat kembali membangkitkan gelora dan semangat saya, yaitu teman perjalanan hidup saya (semoga dunia-akhirat, aamiin).  Teman itu selalu menyakinkan diri saya bahwa masalah yang sedang dihadapi tidak lebih besar daripada nikmat yang sampai kepada saya.  Saya pun berpendapat hidup itu memang pasti ada masalah, bukan hidup namanya jika tanpa masalah.
Teman itu pun dengan bijaksananya menyadari secara tidak langsung kepada saya bahwa masalah itu sebenarnya adalah diri saya sendiri.  Ya, kita adalah biang masalah dalam hidup kita. Ketika kita tidak hidup, pasti tidak ada masalah, hehe.. bukan seperti itu juga pemikirannya.  Jangan pernah berpikir maksud dari “kita adalah biang masalah” itu sebagai kutukan atau berpikir seperti ini, “Tuch, emang semua persoalan terjadi gara-gara gue deh, udah gue bunuh diri  aja!” Eit, bukan seperti itu, tolong ya. Biang masalah itu memang ada dekat dengan diri kita, yaitu hawa nafsu. Hawa nafsu manusia sangat berpotensi melebihi bisikan syaitan. Dimulai dari hawa nafsu muncullah marah, kecewa, stres, dendam, fitnah, sampai saling bunuh. Maka, ketika kita tidak dapat mengelolanya, habislah semua.
Kembali ke teman hidup saya, cuma satu memang dan tidak ada bandingannya. Saya merasa siapa pun boleh berantem dengan saya, musuhan, ga mau ngomong, ngambek, atau apa pun itu. Tidak masalah (ada kata masalah lagi nih, hehe), asal bukan teman hidup saya itu. Teman itu memberikan banyak hal yang tidak dapat diberikan siapa pun di muka bumi ini. Siapa pun. Padahal, seringkali saya kurang deket dengan teman itu, tapi dia selalu memberi kekuatan ketika sedang bersama. Dia yang selalu membuat saya up. Walaupun ingin rasanya memperpanjang roman tentang teman itu, lebih baik saya langsung kasih tahu saja siapakah itu. Teman hidup itu adalah Quran.
Karena kita adalah biang masalah, Quran dapat menjadi penyembuh penyakit bermasalah kita itu. Yang periu diingat lagi Quran selalu berhasil membuat segala masalah menjadi biasa. Quran selalu membuat kita tidak perlu berperang angkat sejata dengan masalah karena nikmat Allah jauh lebih besar dari masalah itu. Dengan demikian, kita lebih tenang menghadapi gangguan apa pun.
Efek penyembuhan Quran tidak berhenti sampai situ, Quran juga dapat melipatgandakan semangat kita. Oeh karena itu, jangan berhenti ketika banyak gangguan yang menghadang perjalanan kita. Jangan putus asa saat banyak orang mencibir dan menertawakan kita. Kenapa? Karena banyak hal yang belum kita lakukan, belum kita amalkan, dan belum kita siapkan untuk bekal kita nanti. Banyak kebaikan yang belum kita lakukan. Kalau kita lemah sedikit saja dalam perjalanan ini atau menyerah terhadap gangguan itu, kelak kita bersaksi apa di hadapan Allah? So, be positive. Jangan hiraukan hal-hal yang membuat kita berhenti dan "mati".
Quran itu adalah firman Allah. Ya, firman Allah.  Melalui firman-Nya, Allah menyuruh untuk bergerak dan terus bergerak dalam kebaikan. Bersyukurlah ketika ada gangguan yang membuat kita agak bermasalah,  mungkin itulah maksud Allah agar kita dapat bergerak lebih maksimal lagi.
Saat ini, saya bukan hafidzah Quran. Lalu apakah harus menjadi hafidzah dulu baru kita dapat merasakan nikmat Quran? Nah, pertanyaan kita balik, belum menjadi hafidzah aja, sebegitu banyak nikmat yang Allah berikan, bagaimana kalau sudah jadi?
Fabiayyi aalaairabbikumaa tukadzzibaan

Wallahu’alam