Di antara dua pasang ketidaksempurnaan, kami harus memilih. Mungkin bukan siapa yang terbaik dari yang baik, bukan pula siapa yang buruk dari yang lebih buruk. Kedua pasang calon harus dipilih dengan berbagai kebutuhan sebuah bangsa saat ini. Semoga bukan pasangan yang mempercepat azab Allah kepada bangsa tercinta ini.
Bismillah..
Saya bukan ahli perpolitikkan yang mengikuti setiap berita politik beserta memberi komentar cerdas bagi perkembangan politik. Bukan. Saya menulis opini ini sebagai apresiasi, apresiasi kepada para "dosen" cilik yang banyak memberi inspirasi bagi kami, pembelajar sekaligus pendidik. Anak didik kami memberi pencerahan terhadap karakter "lurus" yang seharusnya setiap manusia miliki dalam proses pembelajaran yang tidak mudah bagi mereka. Anak didik kami, yang lebih tepat saya namai para bintang, sangat bersemangat untuk berubah menjadi lebih baik karena Allah, meskipun itu butuh waktu bagi mereka.
Pada awal sebuah tahun ajaran baru, kami akui begitu dahsyatnya tingkat keegoisan para bintang. Dalam bermain, mereka berlomba menjadi pemenang dan selalu menganggap curang sang lawan, tak peduli apa pun alasan dari kemenangan itu. Bagi mereka, kemenangan harga mati, tanpa toleransi. Bukan hanya dalam bermain, dalam belajar mereka berlomba selalu terdepan serta terbaik dalam kompetisi pelajaran. Jika temannya lebih unggul, sedihnya bukan kepalang. Ya, begitu keras hati mereka saat itu.
Kompetisi tidak sehat melahirkan prasangka buruk bahwa sang guru memihak atau tidak seimbang dalam penilaian. Kami pun berpikir sedalam-dalamnya untuk menjadikan para bintang lebih bersinar dengan aura positif. Persaingan dalam kebenaran harus ditekankan. Karakter positif dari mereka harus seluasnya dimunculkan. Bagaimanakah?
Satu langkah pertama:
mengenalkan para bintang tentang lapang dada, kebesaran hati
Langkah selanjutnya:
mengulang-ulang kembali di manapun dan dalam kesempatan apapun tentang lapang dada, kebesaran hati, menerima kemenangan teman dengan gembira dan tidak iri terhadap kebahagiaan teman
Langkah-langkah selanjutnya:
bersabar menahan hawa nafsu untuk berbalik arah dari lapang dada, kebesaran hati, sambil terus berjuang untuk menjadi yang terbaik dengan cara yang baik
Langkah-langkah tersebut belum selesai sampai mereka dewasa dan terus melakukan perbaikan diri hingga tidak perlu merasa berat untuk berlapang dada di kemudian hati. Biarlah para bintang berkembang dalam pengingatan guru dan sesama teman sampai melekatlah hati yang besar dalam diri mereka.
Perlukah saya mengulurkan banyak kata untuk menghubungkan pembelajaran karakter para bintang di atas dengan pemilihan pemimpin Indonesia saat ini?
Singkat saja, para pendidik seperti kami, terutama saya, sungguh tidak rela menjadikan pemimpin angkuh serta sombong sebagai panutan serta nahkoda ketaatan kami.
Betapa sedihnya melabuhkan ketaatan kepada pemimpin yang tidak memiliki hati yang lapang dalam menerima saran-saran kebenaran. Betapa tidak sudinya memilih pemimpin yang hanya besar prasangka atas kecurangan yang belum terbukti benar dan menyibukkan diri meminta perhatian manusia seolah-olah dirinyalah yang paling tersiksa.
Sungguh malu rasanya jika memiliki pemimpin yang tidak punya kebesaran hati dan enggan menyetujui pernyataan benar dari orang lain, hanya dengan sepotong kalimat singkat, " Ya.. Saya setuju usulan itu.."
Hina sekali seorang pemimpin beralibi dengan santai sebuah kritikan dengan ucapan, "Mungkin, anda salah dengar atau salah lihat.."
Seandainya pun sang pengkritik salah dengar atau lihat, ucapan itu tidak dapat dikatakan pantas untuk seorang pemimpin BERHATI BESAR.
Pertanyaan besarnya,
Haruskah kita memilih pemimpin yang nyatanya harus kembali ke sekolah dasar untuk mempelajari karakter positif?
#cukupSATUalasanbagisaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar