Senin, 28 November 2011

Amanah = Permen??

Amanah itu...
seperti permen:
Ketika sudah terlalu banyak kita memakannya, gigi kita pun sakit.
Padahal awalnya, kita sangat penasaran, ingin tahu seperti apa rasanya.

Yaa.. amanah itu selayaknya permen, banyak pilihan: permen coklat, mint, permen karet, dan rasa-rasa lain. Pertama kali berjumpa, seperti ingin mencoba, tapi ketika sudah kecewa, langsung kita memalingkan wajah dengan segera.

Tak ada salahnya kita umpamakan amanah dengan permen..
Permen itu ada karena ada penikmatnya, penikmat yang tak jera walau sering diingatkan atas segala bahayanya.
Kita ambil contoh penikmat permen sejati adalah anak-anak (misalnya). Mengapa masih juga mereka gemar mencoba permen satu ke permen yang lain, padahal sang ibu sudah berkali-kali melarang, kata sang ibu, "Jangan banyak-banyak makan permen, nanti giginya bolong!"
Namanya saja anak-anak, tetap penasaran dan ketagihan. Anak-anak itu hanya ingin menikmati permen itu saja sampai puas, sampai mereka tak merasakan lagi nikmatnya atau sampai "sumpah serapah" sang Ibu benar-benar terjadi dan mereka malu sendiri.

Kegemaran anak-anak untuk menikmati permen pasti ada batas waktunya. Kemudian bagaimana dengan amanah??
Yaaa.. kita semua pun tahu seluruh hidup kita di dunia adalah amanah, dan tentu saja ada batas waktunya. Benar sekali, ketika kita MATI, barulah amanah itu berhenti.

Semakin banyak amanah atau peran kita, memang jelas semakin sulit bahkan dapat pula sakit. Lantas kenapa? Kenapa tidak kita nikmati saja, toh kelak kita pasti akan berhenti. Entah berapa menit, jam, hari, atau berapa tahun lagi dapat kita "nikmati" amanah ini..

Mari kita belajar bagaimana anak-anak menikmati permen. Mungkin satu hal sederhana yang mereka tanam, yaitu permen itu ENAK. Mereka akan baik-baik saja mengonsumsi permen dan permen membuat mereka SENANG.

Segala PRASANGKA-lah yang membuat kita makin tua dan menjadi tidak lebih baik dari anak-anak. Nikmatilah amanah laksana permen dalam pandangan anak-anak. Tujuannya tak lain dan tak bukan sebagai bentuk syukur atas kehidupan yang diberikan Allah kepada kita.

Amanah itu yaaaa..seperti permen

Seutas evaluasi (baca: kampus)

Saat diingatkan suatu hal, kita melakukannya enggan
Bukan karena tidak bermakna atau tanpa tujuan
Bahkan alam bawah sadar mengiyakan bahwa itu harus dikerjakan..
Mungkin cukup satu alasan segala hal itu kita tinggalkan..
..,yaitu karena orang yang mengingatkan tak punya jabatan

Seringkali kita baru bergerak saat sudah ada PERINGATAN.
Peringatan tegas dari sang atasan
Bukan lagi sekadar teguran manis dari sesama rekan

Sampai kapankah kita tunduk dengan "tuntutan"?

Lupakah kita, bahwa Allah menitipkan pada kita sebuah PERADABAN...



#sungguh sangat mungkin akulah yang paling lupa akan hal itu, dan saudaraku..sudikah mereka mengingatkanku, sedang aku tlah jauh tertinggal..

Pengamen Inspiratif


Berisik amat dah..”
Itu reaksi pertama ketika kuterbangun dari tidur singkat di Deborah siang itu.

“Ihh..niy abang, suaranya lumayan asyik, sangat lepas.”
Itu reaksi selanjutnya setelah mata udah melek utuh.

“Emm..ini lagunya siapa sih yang dinyanyiin, bagus deh..”
Satu demi satu komentar dalam hati terus mengalir seiring irama yang dibawakan Si Abang Pengamen.

Si abang pengamen itu mungkin seusiaku. Memang  tidak dapat kulihat wajahnya yang menghadap ke sisi yang berlawanan dari tempatku duduk,  tapi  dari suaranya aku dapat menerka kisaran usianya. Suaranya sangat lepas mendendangkan bait-bait lagu. Sangat asyik. Dari segi vokal, sebenarnya banyak juga pengamen yang bersuara asyik seperti itu. Akan tetapi, aku mampu menangkap beberapa keistimewaan dari Si Abang Pengamen ini yang jarang sekalli dimiliki oleh pengamen-pengamen bersuara emas di bus. Apalagi ketika Si Abang Pengamen ini menyanyikan lagu Nidji (yang baru aku tahu setelah lagu hampir berakhir) berjudul “Tuhan Maha Cinta”. Suaranya menggelegar melebihi suara Giring deh, pokoknya. Yang paling penting lagi adalah suaranya tidak fals sehingga terdengar enak dinikmati. 

Si Abang Pengamen itu sangat mendalami lagu yang dibawakan. Dia tdak hanya nyanyi cuap-cuap gitu, semua badannya bergerak sambil memetik gitar. Ada yang perlu diluruskan sedikit, Si Abang Pengamen ini hanya bergerak ringan di tempat yaa, bukan mondar-mandir di dalam bus. Gerakannya pun seirama dengan nada lagu dan petikan gitar, bukan joget ga jelaas.. >_<

Aku yang saat itu hanya mendengar suaranya saja sudah ngos-ngosan, tapi suara si Abang itu sangat luar biasa karena tidak ada kesan cape atau kehabisan nafas. Tiga atau empat lagu dibawakannya dengan sangat all out, menurutku Si Abang itu nyanyi sebebas-bebasnya, serasa di ruang terbuka, dan bagiku itu positif. Positifnya apa? Coba kalo nyanyinya malu-malu, suaranya pelan, pada ga bangun tuch orang-orang di Deborah. Nyanyi bebas itu, tidak teriak-teriak yaa, harap bedakan. Contoh bersuara bebas kayak orang latihan drama gitu deh, harus lepas, jelas, dan tegas suaranya. Tentu tidak boleh sumbang karena pake suara perut. Muatan lagu yang dibawakan (Nidji_Tuhan Maha Cinta) juga dahsyat. Ini dia:

Nidji Tuhan Maha Cinta
tahukah Tuhanmu selalu hidup di dalam hatimu
cinta dariNya menjawab semua masalahmu
Dia mendengar,melihat dan selalu berfirman
perangi neraka di  dalam hatimu
damaikan jiwamu dengan cinta Dia
memberi yang ikhlas kepada yang butuh
bersyukurlah terus tanpa kenal waktu
*courtesy of LirikLaguIndonesia.net
serukan, ikhlaskan, pasrahkanlah hanya kepadaNya
cintaNya adalah jawabanNya karena Tuhanlah Maha Cinta
karena Tuhanlah Maha Cinta

         Setelah selesai dengan lagu-lagunya, Si Abang Pengamen itu menggulung koran sebagai tempat uang. Saat Abang itu mengitari satu demi satu bangku penumpang, baru kulihat keringat yang bercucuran di kepala dan badannya. Eemm, luar biasa. Ucapan terima kasih yang disampaikan Si Abang juga disertai tatapan dan senyuman terhadap penumpang yang menaruh uang ke dalam gulungan koran tersebut. 

        Banyak pelajaran yang dapat kuambil dari Si Abang inspiratif ini, mulai dari kesungguh-sungguhan, semangat, percaya diri, sampai ke adab. Jika kau ingin meraih sesuatu, lakukanlah sebaik-baiknya dan dengan kesungguhan setinggi-tingginya. Jangan kita bersusah payah memikirkan hasil akhir, berani bergerak sajalah dulu, insya Allah kekuatan dan semangat, Allah-lah yang menciptakan untuk kita nantinya. Ketika kau yakin dan percaya diri terhadap langkah yang kau ambil, orang lain pun akan mampu merasakan “ruh” itu. 

Aku merasa Si Abang Pengamen telah mampu bersyukur atas segala yang diberikan Allah padanya, lalu bagaimana dengan kita???

Kamis, 10 November 2011

Cerminan Kekayaan Budaya Indonesia melalui Didong, Rebab Pesisir, dan Pantun Kentrung*


Oleh Fitri Apriliani Lestari*, 0806466241


Setiap daerah di Indonesia memiliki kekhasan yang menandakan kehidupan sehari-hari yang dilakukan warga di daerah tersebut. Kekhasan itu dapat berupa bahasa, kepercayaan, budaya, seni, ritual keagamaan, adat istiadat, dan norma yang berlaku. Pada tulisan ini akan dilakukan pemaparan dan analisis terbatas mengenai kekhasan suatu daerah dalam hal berkesenian. Lingkup kecil pembahasannya adalah kesenian Didong, Rebab Pesisir Selatan, dan Pantun Kentrung sebagai tradisi sekaligus sastra lisan Indonesia.
Tradisi lisan adalah sebagian kebudayaan yang diwariskan turun-temurun secara lisan kemudian dilisankan, sedangkan sastra lisan adalah suatu bentuk tuturan atau muatan dalam sebuah pertunjukkan lisan yang disampaikan hanya melalui bahasa yang dilisankan. Sastra  lisan belum menjadi sebuah tradisi jika belum diwariskan turun-temurun, setidaknya tiga generasi. Selanjutnya, tradisi lisan mencakup segala hal yang dilisankan, mulai dari bahasa, mimik, gesture, alat penunjang (alat musik), dan situasi yang dibangun oleh penonton. Lain halnya dengan sastra lisan yang “hanya” memperhatikan bahasa dari sebuah pertunjukkan lisan. Pertunjukkan yang saya maksud adalah proses timbal-balik atau komunikasi langsung antara sumber dan informan lisan yang pasti selalu ada dalam proses tradisi dan sastra lisan. Itulah korelasi (perbedaan) antara tradisi lisan dan sastra lisan.
Selain tradisi dan sastra lisan, dalam ilmu kebudayaan juga dikenal istilah folklore. Menurut Alan Dundes, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya (dalam folklore Indonesia). Dalam komunitas yang memiliki corak kekahasan yang sama mereka mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. Pengertian dari lore adalah sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun menurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Lalu apakah keterkaitan serta perbedaan antara folklore, tradisi lisan, dan sastra lisan? Perbedaan serta keterkaitan antara tradisi dan sastra lisan sudah dipaparkan di atas. Kemudian kaitan kedua hal tersebut dengan folklore dapat kita titik beratkan kepada kata “lisan”. Dalam tradisi dan sastra lisan terjadi proses komunikasi atau interaksi langsung. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi dalam folklore karena cakupan folklore lebih luas, tidak sekadar lisan. Untuk memperdalam pemahaman mengenai ketiga istilah ini, kita akan masuk ke contoh kesenian yang ada di Indonesia, yaitu Didong, Rebab Pesisir Selatan, dan Pantun Kentrung berikut ini
Didong
            Gayo dikenal memiliki kekayaan dalam hal seni suara dan tari. Salah satu kesenian yang akan kita ulas adalah didong. Didong merupakan salah satu seni suara dan sastra dari Gayo yang masih utuh bertahan sampai saat ini. Formula yang terdapat dalam didong adalah tampilnya dua grup yang tiap grup berjumlah sekitar tiga puluh orang anggota yang juga sudah termasuk para Ceh. Mereka duduk melingkar pada masing-masing grup. Dalam didong terjadi saling membalas pantun antara dua grup. Formula yang terus bertahan di setiap generasi sebagai tanda bahwa didong merupakan tradisi lisan.
            Pantun yang dilontarkan pada pertunjukkan merupakan unsur dari sastra lisan. Didong sudah menjadi identitas masyarakat Gayo yang memiliki keahlian dalam bersastra atau bersyair, terutama bagi para Ceh. Identitas dan pewarisan didong atas masyarakat Gayo menandakan kesenian ini juga sebagai folklore.
             Hal-hal penting yang berperan dalam pertunjukkan didong adalah penonton dan pantun. Penonton merupakan juri yang ideal dalam pertunjukkan karena dapat menilai secara obyektif kualitas isi dari pantun yang dibawakan setiap grup. Semakin banyak dan semangat tepukan penonton akan memicu gairah tim untuk membuat pantun yang cerdas dan kreatif. Pembendaharaan kosakata juga diperhatikan dalam pertunjukkan didong.

Rebab Pesisir Selatan
Rebab Pesisir Selatan (RPS) adalah salah satu kesenian yang berasal dari Minangkabau. RPS sudah dikenal lama oleh warga yang tinggal di kawasan pantai barat selatan Sumatera Barat sampai perbatasan Provinsi Bengkulu. Saat ini, RPS sudah dikenal pula di luar wilayah tersebut, seperti daerah Padang, Solok, dan Agam. Formula yang terdapat pada RPS adalah pengisahan secara lisan suatu kaba (cerita) dengan diiringi instrumen rebab oleh dua orang penampil. Formula ini tetap sama dilakukan tiap generasi, inilah salah tanda bahwa RPS merupakan tradisi lisan. 


Kaba yang dituturkan oleh penampil merupakan unsur sastra lisan dalam tradisi ini. RPS adalah gambaran identitas Minangkabau karena dalam ceritaya dikisahkan tentang pemuda yang berusaha merintis sukses dengan merantau. Kepemilikan identitas kelompok tersebut menandakan RPS termasuk folklore. Kepemilikan tersebutlah yang menjadi daya tarik RPS karena penonton dewasa Minangkabau dapat bernostalgia tentang perantauannya dan penonton remaja dapat mengimajinasikan diri tentang perantauan.
Peran penonton sangat besar dalam pertunjukkan RPS karena pertunjukkan baru dimulai ketika penonton sudah berdatangan dan berakhir saat penonton sudah banyak yang pergi. Hal penting yang ikut berperan dalam RPS adalah instrumen yang digunakan, rebab. Pertunjukkan RPS tidak akan berlangsung tanpa penonton dan iringan rebab.

 Pantun Kentrung

            Jika dua kesenian sebelumnya berasal dari Pulau Sumatra, kini kita akan membahas kesenian dari Pulau Jawa, tepatnya Provinsi Jawa Timur, yaitu Pantun Kentrung. Penceritaan Pantun Kentrung dibawakan oleh seorang dalang kentrung dan panjak dalam sebuah acara. Acara yang dimaksud adalah perayaan tujuh bulanan, sunatan, perkawinan, ruwatan, sedekah desa, dan perayaan kemerdekaan Indonesia. Cerita yang dipaparkan bergantung pada acara yang digelar. 
Formula yang terdapat di dalam Pantun Kentrung adalah dalang kentrung yang memainkan instrumen kendang sambil bercerita, panjak yang bertugas mengiringi dalang sambil memainkan bunyi-bunyian bernama terbang, dan penanggap. Pewarisan formula ini menandakan kesenian ini merupakan tradisi lisan, sedangkan cerita yang dibawakan menandakan adanya unsur sastra lisan. Pantun Kentrung sudah menjadi identitas masyarakat Jawa Timur hal tersebut yang menjadikan kesenian ini sebagai folklore. Unsur penonton atau penanggap sangat penting, salah satunya sebagai pemyampai kritik sosial.
Pembahasan mengenai Didong, Rebab Pesisir Selatan, dan Pantun Kentrung menunjukkan satu inti yang sama, yaitu disampaikan secara lisan. Selain itu, ketiganya memiliki hubungan sebagai identitas komunitas di daerah asal masing-masing dan yang terpenting adalah semua kesenian tersebut mengalami pewarisan turun-temurun. Setiap kesenian atau kebudayaan memiliki corak khas yang tidak dapat saling menggantikan. Oleh karena itu, kita harus menghargai perbedaan formula di tiap kesenian sebagai kekayaan budaya Indonesia. Yang perlu kita sadari adalah kesenian merupakan cerninan atau identitas suatu bangsa, apabila kita mampu menghargai dan menjaganya, akan mudah kita memelihara persatuan seluruh Indonesia.

Sumber:
Danandjaja. James. 2002. Folklore Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafitti.
Endarswara, Suwardi. 2010. Folklore Jawa: Macam, Bentuk, dan Nilainya. Jakarta: Penaku.
Melalatoa. 1982. Didong: Kesenian Tradisional Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Suryadi. 1993. Rebab Pesisir Selatan: Zamzami dan Marlaini. Jakarta: Yayasan Obor Indoneia


*Esai ini merupakan tugas Mata Kuliah Sastra Lisan yang menjadi penilaian Ujian Tengah Semester.
*Penulis adalah mahasiswa semester 7 Universitas Indonesia, Program Studi Indonesia.

Kamis, 03 November 2011

Syair "Tinta"


Siang ini, aku mencarinya ke mana-mana
Tak sabar hati ingin berjumpa
Walau kemarin baru bersua
Tetap saja pertemuan kami selalu kudamba

Setelah hari beranjak petang, kudengar berita
Kabarnya dia sedang sakit tak berdaya
Langsungku telepon, namun tak diterima
Sungguh membuatku makin cemas saja

Saudariku tercinta nan sejuk dipandang mata
Kesehatanmu jangan lupa harus selalu dijaga
Agar dapat kita terus bertukar cerita
Sebelum kau menyandang gelar sarjana…
lalu meninggalkanku yang masih mahasiswa


Depok, 3 November 2011
9.20 PM

Selasa, 11 Oktober 2011

KEUNIKAN RATIB SAMAN DI DAERAH SAMBAS


Oleh Fitri Apriliani Lestari*, 0806466241


Ketika  kita mendengar kata Ratib Saman, mungkin setidaknya ada dua hal yang terlintas di benak kita, yaitu “Ratiban” dan “Saman”. Kemudian timbullah pertanyaan apakah Ratib Saman termasuk salah satu bagian dari ratiban? Apakah Ratib Saman memiliki kesamaan dengan tari Saman yang berasal dari Aceh? Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan serta memaparkan secara singkat apa yang dimaksud dengan Ratib Saman secara umum dengan mengambil kota Sambas sebagai tempat perkembangan Ratib Saman.
Ratib Saman adalah salah satu tradisi lisan yang berkembang di kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Jika kita amati sekilas ratiban sungguh mirip dengan acara tahlilan, orang-orang berkumpul membentuk lingkaran besar sambil melantutkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Seperti halnya tahlilan, Ratib Saman memang kaya akan unsur Islam. Akan tetapi, yang dilantunkan dalam Ratib Saman bukanlah Al-Qur’an, melainkan naskah syair tulisan tangan yang sudah berumur lebih dari satu abad.naskah syair tersebut beraksara dan berbahasa Arab sehingga terdengar seperti bacaan Al-Qur’an. Keberadaan Ratib Saman di Sambas dapat dihubungan dengan awal masuknya Islam ke Sambas. Hal ini pun menjadi bukti bahwa Kerajaan Melayu Sambas dulunya adalah sebuah negeri yang berpegang teguh pada ajaran Islam.
Asal muasal Ratib Saman masih belum diketahui bahkan oleh Budayawan di kabupaten Sambas. Konon dari berbagai cerita yang ada, Ratib Saman berasal dari Aceh. Hal ini diindikasikan dari hubungan yang lancar antara Sambas dan Aceh pada masa kerajaan beberapa abad yang lalu. Kebudayaan di Aceh juga kental dengan nuansa Islam dan terdapat kesenian bernama Tari Saman yang terkesan mirip dengan Ratib Saman, tetapi dalam aplikasinya banyak perbedaan. Selain melantunkan syair islami, dalam Ratib Saman juga terdapat beberapa gerakan. Gerakan Ratib Saman seperti gerakan solat.
Tradisi Ratib Saman merupakan salah satu keragaman lokal Sambas yang hampir punah. Tradisi ini di kabupaten Sambas hanya dikuasai oleh para tetua yang sebelumnya telah diajari orang tua pada generasi terdahulu, sedangkan untuk mengajari kaum muda di Sambas sangat sulit. Menurut Budayawan Sambas, A Muin Ikram, dalam lima puluh tahun terakhir, Ratib Saman hanya dimainkan sebanyak enam kali. Di seluruh wilayah Sambas pun, diperkirakan hanya dua atau tiga desa yang masih melestarikan tradisi Ratib Saman.
            Dilihat dari filosofi dan penampilan Ratib Saman, dapat dikatakan Ratib Saman berkaitan erat dengan upacara adat di Sambas yang bernama upacara adat Tepung Tawar. Tepung tawar merupakan upacara yang biasanya dilakukan ketika pindah rumah baru, berobat kampung, khitanan, hamil 7 dan 9 bulan, mandi belulus pengantin, hari ketujuh meninggal dunia dan lain-lain. Upacara ini dimaksudkan untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, kedamaian kepada Allah Swt dengan cara memapas atau menyentuhkan objek yang didoakan menggunakan daun lenjuang yang telah dicelupkan dalam air tepung tawar yang sudah dibacakan doa-doa. Ratib Saman secara filosofis  berfungsi hampir sama dengan upacara Tepung Tawar, yaitu untuk memohon pertolongan Allah agar terhindar dari berbagai ancaman.


Referensi:
www.pontianakpost.com. “Ratib Saman Kini Mulai Terlupakan” diunduh tanggal 28 September pukul 07.24
www.kompas.com. Ratiban, Serat Manikmaya dan Anehnya Pikiran Manusia” diunduh tanggal 28 September pukul 07.27


*Penulis adalah mahasiswa program studi Indonesia, FIB UI, angkatan 2008

Kamis, 22 September 2011

For The Rest Of my Life

I praise Allah for sending me you my love
You found me home and sail with me
And I`m here with you
Now let me let you know
You`ve opened my heart
I was always thinking that love was wrong
But everything was changed when you came along
OOOOO

And theres a couple words I want to say

Chorus:
For the rest of my life
I`ll be with you I`ll stay by your side honest and true
Till the end of my time
I`ll be loving you.loving you
For the rest of my life
Thru days and night
I`ll thank Allah for open my eyes
Now and forever I…I`ll be there for you
I know that deep in my heart

I feel so blessed when I think of you
And I ask Allah to bless all we do
You`re my wife and my friend and my strength
And I pray we`re together in Jannah
Now I find myself so strong
Everything changed when you came along
OOOO
And theres a couple word I want to say

*Repeat Chorus
I know that deep in my heart now that you`re here
Infront of me I strongly feel love
And I have no doubt
And I`m singing loud that
I`ll love you eternally


Repeat Chorus I know that deep in my heart..


Aduuhhh.. Lagu ini so sweetnya..^^

Sabtu, 10 September 2011

Tradisi Lisan Betawi dalam Bens Radio*

oleh Fitri Apriliani Lestari*
0806466241

Dalam setengah abad ini, dunia mengalami perkembangan yang begitu pesat, bahkan telah mempengaruhi perubahan tata nilai dan struktur dalam masyarakat. Perkembangan pesat ini di satu sisi dapat membahayakan perkembangan kebudayaan Indonesia dan di sisi lain dapat memajukan kebudayaan Indonesia. Hal yang dapat membahayakan kebudayaan Indonesia atau kebudayaan nasional apabila seluruh pengaruh kebudayaan asing masuk tanpa adanya penyaringan. Akan tetapi, jika makin banyak orang Indonesia berpikir kritis untuk membentuk kebudayaan nasional yang hendak dikembangkan sejalan dengan perkembangan masyarakat Indonesia dan kemajuan zaman, arus globalisasi akan membawa dampak positif bagi kemajuan kebudayaan nasional.

Salah satu cara efektif untuk mempertahankan kebudayaan nasional di zaman globalisasi ini adalah membentuk wadah industri budaya dan industri kreatif. Industri budaya berfungsi untuk memberi kenyamanan berkaitan dengan emosi, ekspresi, dan mempunyai kecenderungan untuk menarik massa, sedangkan industri kreatif dapat mengembangkan kebutuhan dasar manusia yang mendambakan hiburan. Gabungan antara industri budaya dan industri kreatif harus dikemas dengan baik agar masyarakat dapat merasakan pengaruhnya, yaitu dengan menjadikan teknologi atau media elaktronik sebagai perantara antara sumber hiburan dan penikmat hiburan.

Radio adalah media yang mampu menstimulasi suara dan mengimajinaskan visualisasi faktual melalui kelisanan dan pendengaran. Selain itu, radio dapat menjadi unsur yang mempertahankan kebudayaan nasional. Sampai saat ini, radio yang cukup konsisten dalam mengembangkan kebudayaan nasional adalah Bens Radio. Kebudayaan yang diusung Bens Radio adalah budaya Betawi. Dalam perkembangannya, Bens Radio Jakarta terus berusaha mencoba beradaptasi dengan perubahan karakter pendengar, tuntutan zaman, dan percepatan teknologi, serta gaya hidup masyarakat Betawi dan masyarakat Jakarta pada umumnya. Terbukti program acaranya selalu dikemas dengan cara-cara kreatif yang berkaitan dengan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang.

Bens Radio secara tidak langsung telah melestarikan dan mempertahankan kebudayaan tradisi lisan Betawi. Motto yang dipakai oleh Bens Radio, Betawi Punye Gaye Selera Siape Aje, adalah salah satu bukti keinginan yang besar untuk mempertahankan kebudayaan Betawi dalam masa penyiaran. Sapaan yang digunakan penyiar Bens Radio adalah bahasa Betawi, yaitu Abang, None, Ncang, Ncing, Nyak, Babeh. Hal ini pun menjadi nilai tambah Bens Radio dalam mempertahankan tradisi lisan Betawi.

Bens Radio sebagai media penyiaran swasta pasti juga memikirkan aspek komersial sehingga harus diakui semakin banyaknya penyiaran lagu pop disertai pengurangan kesenian Betawi. Pengelola Bens Radio pun menyadari arus globalisasi tidak dapat ditolak. Masyarakat harus membuka diri terhadap globalisasi agar dapat bersaing dan terus berkembang. Menurutnya, bahkan globalisasi harus diadopsi.

Salah satu hal yang miris bagi saya adalah penyiaran kesenian Betawi di Bens Radio hanya mendapatkan porsi 10% setiap minggunya. Menurut saya, hal ini terjadi karena Bens Radio menganggap kesenian Betawi yang umumnya diterima oleh masyarakat atau pendengar hanya kesenian atau lagu-lagu yang dibawakan oleh Benyamin S. (Alm.). Tentu saja hal ini masih bersifat wajar karena Benyamin S. adalah pendiri Bens Radio. Akan tetapi, ada satu keheranan saya, yaitu dengan terbatasnya porsi kesenian Betawi yang disiarkan, mengapa Bens Radio menempatkan penyiaran kesenian Betawi bukan pada waktu utama/Prime Time? Seharusnya Bens Radio menyiarkan format kesenian Betawi pada waktu utama, sedangkan sampai saat ini waktu utama sebagian besar diisi oleh lagu-lagu pop.




Rujukan:
Silalahi, Harry Tjan. 1993. “Pancasila sebagai Filter dan Dasar Budaya Indonesia”. Kongres Kebudayaan 1991: Warisan Budaya: Penyaringan dan Pemeliharaan I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


*Tulisan untuk tugas akhir semester (lima), Pengantar Metodologi Penelitian Kebudayaan
*Penulis adalah mahasiswa FIB UI Prodi Indonesia angkatan 2008

Rabu, 07 September 2011

Sudah Kroniskah "PEnyakit" Ini?

Lagi, SMS masuk pukul 18.23, tanggal 7 Sepember 2011.

Sampai tulisan ini selesai, SMS itu belum kubalas, bahkan tidak niat kubalas dan itu bukan SMS pertama yang tak terbalas sejak 2 Syawal 1432 H. Akan tetapi, ada pula satu, dua SMS yang masuk ke inbox ponselku dan kubalas, itu pun tanpa hasrat. Biasanya hal ini terjadi saat aku sedang “berpenyakit”, tetapi kali ini berbeda, dan berbeda itu dapat saja maksudnya “penyakit” yang kualami sudah kronis, entahlah. Aku yakin sekronis apa pun sebuah penyakit, pasti bisa sembuh, sayangnya aku tak ingin dan masih tak bisa sembuh saat ini.

Sejak tanggal 18 Ramadhan 1432 H terdapat perbedaan, dapat dikatakan saat itulah asal mula “penyakit”-ku kronis. Hari dan tanggal yang tak mungkin akan mudah kulupa, Kamis, 18 Agustus 2011. Tanggal itu cukup bersejarah karena itulah kali ketiga aku harus bolak-balik ke rumah sakit, rumah sakit yang sama selama ketiga kalinya. Aku ke rumah sakit tentu saja bukan karena “penyakit”-ku, lagipula sejak kapan “penyakit” ini terdeteksi oleh alat-alat kedokteran. Lalu, apakah yang menjadikan berbeda? Pertama, ini sudah ketiga kalinya, yang ke-TIGA, sehingga kondisi si Sakit (mamaque) makin parah daripada yang pertama dan kedua. Perbedaan kedua adalah kali ketiga ini bertepatan dengan bulan Ramadhan, ya..RAMADHAN, menuju 10 malam terakhir Ramadhan tepatnya. Yang ketiga, baru kali inilah masalah administrasi sangat-sangat ribet. Tiga perbedaan yang mampu menciptakan emosi kesedihan dan ternyata dapat memancing aura “penyakit”-ku.

Ya, sejak tanggal bersejarah itulah……:

• Mulai banyak orang yang menanyakan, “Udah semester berapa?”, setelah kujawab, banyak doa bertaburan seperti, “Moga cepet lulus.” Alhamdulillah.. memang beginilah nasib anak bontot, sebagai satu-satunya anak yang masih tanggungan orangtua, ditanya-tanyain.

• Makin kenal seutuh-utuhnya tiap anggota keluarga, dan tersadar bahwa kami baru beramal jama’I sangat erat ketika ada suatu kasus. Tahun 2007, tepatnya 2 Februari (ini pun tanggal yang tak mudah dilupa), saat banjir di rumah, kami pun mantap banget amal jama’i-nya. Oia, di kedua waktu tersebut juga harus merelakan tidak ikut agenda keislaman SMA, KRENASI (3 Feb’07,acara Muharram) dan STARF (21 Agst’11, acara bukber , bulan RAMADHAN).

• Tidur makin sembarangan tempat, tidak tentu, dan terburu-buru. Maksudnya tidur terburu-buru adalah tidak nyadar tidur saking capenya dan bangun dengan kaget.

• Mulai kepikiran hal yang sebelumnya males dipikirin dan itu aneh banget pikirannya, apakah itu? Bahkan sekarang nulisnya pun eeerrrr banget, tetapi makin ngerasa butuh, ya baiklah, emang butuh, yaitu pasangan hidup. Penyebabnya bisa saja karena lingkungan. Biasanya sehari-hari hidup di lingkungan mahasiswa yang “ideal” atau idealis itu, terus semenjak tanggal tersebut lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga, kemudian kedatangan tetangga, sanak saudara, dan itulah kehidupan sesungguhnya yang jauh dari “ideal”.
Pikiran-pikiran aneh mulai dari kisah Siti Nurbaya-Datuk Maringgih-tanpa Samsul Bahri, terus kalo ke suatu tempat atau kemana pun itu entah kenapa berpikir “Jangan-jangan bakal ketemu jodoh gw nih di sini,” Astaghfirullah… dan pernah ngebatin “Kalau saat ini (ketika ngebatin, bukan sekarang) ada yang ngelamar, langsung diterima aja yang penting dia laki-laki.” Astaghfirullah… emang error system banget kayaknya pas mikir seperti itu. Klimaks dari pikiran aneh ini, yaitu saat pulang ke rumah dan para pria menggotong mama keluar dari mobil. Papa dan kakak iparku yang berukuran cukup mini harus mengangkat mama, iya sih dibantuin tetangga juga, tetapi yang muda cuma kakak iparku satu itu,kasihan banget kan .. Sudahlah, jangan aku perpanjang lagi poin terakhir ini, aku yakin ketika kembali berinteraksi dengan anak kampus atau anak sekolah kebuang habislah pikiran aneh itu. Masalah rezeki, salah satunya jodoh, memang termasuk dalam zona wallahu’alam, jadi nikmati saja.


Kejadian yang tak mudah untuk dilupakan ini masih menyisakan sesuatu yang menyedihkan dan yang paling menyedihkan adalah aku tidak sempat mengucapkan selamat tinggal kepada RAMADHAN. JIka RAMADHAN dapat berbicara, mungkin dia akan menanyakan di mana keberadaanku di 10 malam terakhir. Mungkin dia akan menyayangkan ketidakberadaanku di masjid-masjid ketika itu atau paling mungkin adalah dia tidak sudi mengucapkan sepatah kata pun bagi orang-orang yang tertinggal sepertiku, tentu saja karena dia tidak peduli. Walaupun Ramadhan tidak peduli, tetapi Allah sangat peduli. Perhatian Allah sangat luar biasa, Allah memberi cermin yang besar agar dapat kulihat jelas hikmah. Ramadhan 1432 H berlalu terlalu cepat, meski begitu aku merasakan sangat, esensi Ramadhan sesungguhnya, yaitu MENAHAN DIRI. Esensi inilah yang terus kucoba pertahankan dan akan ku gunakan untuk sedikit demi sedikit menghilangkan kekronisan “penyakit”-ku..semoga cepat sembuh

Senin, 15 Agustus 2011

Syair Cinta: Surat dari Seorang Gadis*

Sengaja kutulis kata sederhana
Agar dapat kau tangkap makna
Betapa hati ini gundah gulana
Menanti kau pulang sehabis berkelana
Sesaat lagi cahaya tertutup gerhana
Mengharapkan kedatanganmu seperti tiada guna
Segala mimpi telah sirna
Cukup sudah diriku merana
Inilah akhir hubungan yang dulu terbina


~*berlanjut...

SYair Pengingatan: KArena Cinta itu...Mudah

Alangkah gampangnya berlaku maksiat
Karena perhiasan dunia nan indah kita terjerat
Langkah-langkah sembunyi dijalankan sebagai siasat
Sadarkah kita bahwa setiap gerak pasti dicatat
Allah pun mengetahui apa yang kita perbuat
Meskipun sesuatu itu masih berupa isyarat

Jika terasa sulit untuk menjadi taat
Lakukan kebaikan sederhana dan tak perlu cepat-cepat
Yang harus diyakini, Islam itu mudah tidak berat
Islamlah satu-satunya jalan keluar dan penyelamat

Dimulai dengan kalimat syahadat
sampai melaksanakan ibadah haji selagi dapat
Setiap perintah Allah pasti tersirat manfaat
Bagi kehidupan di dunia dan akhirat


hari ini, Senin, 15 Agustus 2011
@JAkarta dan depok

Jumat, 12 Agustus 2011

Syair Cinta: untuk yang halal

Kau jelas bukanlah sosok ideal
Tingkah polahmu sering membuatku kesal
Bersamamu kurasa jauh dari mujur dekat dengan sial
Janji manismu kadangkala menjadikanku mual
Bahkan catatan permohonan maafmu sudah sangat tebal
Namun, kuakui kau mampu menahan amarahku yang bak rudal
Kesalahanku dapat kau ubah menjadi amal
Denganmu kuyakin impian tak sekadar khayal
Kau pun bilang: Dunia ini adalah tempat menanam modal
Oleh karena itu, katamu, jadikan jujur dan iman sebagai bekal
Walau badai sempat menyeret kita dalam gagal
Semangatmu sanggup menguatkanku hingga final
Sekalipun engkaulah manusia paling bebal
Sungguh, tak ada di hatiku perasaan sesal
Asal di sampingmu, berbagai cobaan tak jadi soal
Itulah dirimu, yang selalu memberiku ruang spesial
Tidak heran hanya di hatimulah cintaku kan tinggal
Semoga kita terus bersama sampai di alam yang kekal


Nb:
Inilah syair agak gombal
Yang ditulis oleh fitrial, (mungkin) si pembual
Bukan bermaksud nakal
Cuma ingin bermain mengasah akal
Pembaca harap tidak sebal
Karena syair ini hanya didedikasikan untuk ”yang halal”


11 Agustus 2011, kamis
Pkl. 2.15 PM

SYAIR CINTA: ‘Yang..(gombal)’

Yang..
Yang memanggil dengan mesra dan memberi kecupan sayang
Dia yang menjadikan ombak mampu menghempas karang
Yang berkata, “ Laut dan gunung pun akan kuterjang,”
Apa pun yang terucap darinya sanggup membuatku melayang
Dialah yang menghilangkan jiwaku dari gamang
Yang mudah memudarkan amarahku ketika sulit dikekang
Tak pernah dia terlihat seperti sosok yang malang
Karena senyum yang indah di wajahnya senantiasa terpasang
Hanya dia yang bisa membuatku mabuk kepayang
Katanya, “Telah kulewati berbagai jalan yang pajang..
…, ternyata di hatimulah aku kan pulang.”
Yaaa.. akulah yang akan setia untuknya sampai ajal menjelang
Yang…



Selasa, 9 agustus 2011 pkl 12.05

Jumat, 05 Agustus 2011

Bulan ini, BERKAH, "Ramadhan"

Bulan keberkahan itu kini telah datang
Keresahan penantian setahun sudahlah hilang
Amarah dendam yang seringkali meradang
Berganti dengan ketulusan dari pribadi yang kian tenang
Demi menyambut bulan Ramadhan gemilang

Jika beberapa bulan lalu barisan solat merenggang
Di bulan inilah mulai diisi banyak orang
Bahkan dunia hiburan tak ketinggalan turut bersenang
Coba saja lihat di sinetron-sinerton kejar tayang
Wanita berjilbab dan pria berkoko selalu dipasang
Lagu islami setiap hari setia berdendang

Semoga saja Al-Qur’an tidak hanya dipegang
Namun, juga dibaca kemudian diamalkan agar hidup jadi lapang
Karena Qur’an-lah penyejuk hati yang gersang
Ketika Iman dan nafsu siap berperang
Gelar Muttaqin adalah semangat kita dalam berjuang
Mencari perhatian Allah, Tuhan Yang Maha Penyayang



1 Agustus 2011 pukul 8.19 @my kingdom

Jumat, 29 Juli 2011

Syair Cinta: tentang dia

“Kalo kata orang-orang ‘katakan dengan bunga’, tapi menurutku….”

Ungkapkan cinta dengan SYAIR
Pasti akan kuterima tanpa panjang pikir
Asal lelaki itu tidak kikir
Lebih bagus jika dia bisa nyetir
Tentu bukan untuk kujadikan sopir
Namanya jodoh sudah garisan takdir
Hanya doa terucap dariku, hamba yang fakir
SEMOGA dalam kebaikan dia adalah pionir
Mottonya tegas “tiada hari tanpa zikir”
Agenda pekanan dia selalu hadir
Di shaf terdepan dia tak pernah mangkir
Membaca Qur’an pun sangatlah mahir
Kata dusta tak pernah terlisan di bibir
Bagaimana diri ini tidak naksir
Segala akhlaknya telah membuatku tersihir
SEMOGA amalan terbaik sama-sama dapat kita ukir
Tetap istiqamah di Jalan ini sampai langkah terakhir
Hingga kelak istana di Surga menjadi zahir



*Segala harap hanya kepada Allah, Al-Qadir

@my kingdom, Kamis, 21 Juli 2011 pukul 5.33 am

Aku dan Kamu..aaahh Kita

Mulai hari minggu pekan ini aku ada di rumah
Datanglah segera jika kau sedang merasa gundah
Atau telepon saja kalau bertemu teramat susah
Karena untukmu telah kutunda segala lelah


Kenapa kau tampak bingung tak tentu arah
Genggam tanganku semoga jalan ini jadi mudah
Memang kita bukan kumpulan orang yang terbebas dari salah
Tetapi bukankah kita orang yang siap berbenah

Bila ucapan jahat mereka membuatmu goyah
Hadapi sebagai kerikil penguat langkah
Tetaplah bergerak agar kebaikan terus merekah
Harapku, di sana kita mendapat tempat terindah




Created: 25 Mei 2011

#Bagi kalian yang tak pernah patah, walau bergumul dengan amanah.
Sungguh kalianlah anugerah

Kamis, 30 Juni 2011

kemarin, hari ini, dan nanti

Kangen dengan Rohis yang dahulu
Walau si ikhwan rada kaku
Para akhwat pun pemalu
Namun akhlaknya insya Allah baik untuk ditiru

Jika diingat lagi
Syuro Rohis tak memakai emosi
Memang ada silang pendapat sana-sini
Tapi tetap diselesaikan dengan ketenangan hati

Mana Rohis yang terkenal sopan kepada guru
Meskipun dimarahi masih sempat senyum tersipu
Dan hanya terdengar jawaban, “iya Bu…”
Hingga guru pun tak banyak menyimpan ragu

Rohis yang kurindu
Mengapa warnamu kini kelabu
Di tengah persaingan engkau membisu
Orang sekelillingmu jadi menggerutu

Kutahu Rohisku tidaklah pergi
Tak setuju pula bila dikatakan mati suri
Mungkin dia hanya (kembali) mencari jati diri
Menuju kebenaran hakiki

Sekarang bukan saatnya berputus asa
Karena kuyakin harapan itu selalu ada
Rohis kami yang dibangun dengan air mata
Harus diperjuangkan dengan semangat membara


Kami sadar hari esok itu belum pasti
Oleh karenanya kami mulai bergerak hari ini
Jika waktu telah menghentikan langkah kami nanti
Semoga Rohis terus mencetak para generasi Rabbani


24 Juli’10
~ba’da pembicaraan luar biasa berduaan dengan al-Ukh di sudut masjid sekolah yang mulai tak terisi~

Rabu, 29 Juni 2011

Penjelajahan dari Pekojan-Kota Tua

Ini adalah salah satu makam di Masjid Al-Anshor, Pekojan


Masjid Al-Nashor termasuk masjid tertua yang didirikan di Jakarta dengan bercorak Betawi


Masjid ini ditetapkan oleh Pemda sebagai salah satu cagar budaya, tetapi Pemda tidak pernah memberikan dana untuk "melestarikan" masjid tua ini.


LAnggar Tinggi Pekojan (tampak samping), salah satu tempat penyalinan naskah di Jakarta.

KONDISI SOSIAL YANG MEMPENGARUHI TRADISI PENYALINAN DI BETAWI

Oleh: Fitri Apriliani Lestari, Program Studi Indonesia FIB UI


Kegiatan pernaskahan di Jakarta telah dimulai ketika kolonial Belanda menduduki Jakarta atau yang dulu dikenal dengan Batavia. Sebelum Belanda menguasai wilayah Batavia, Belanda hanya diperbolehkan berdagang pada tahun 1617. Semakin lama Belanda semakin ingin memperoleh keseluruhan dari Batavia sehingga pada tahun 1618 mulai ada keributan antara Belanda dengan orang-orang Jayakarta, Banten, dan Inggris. Perselisihan berakhir pada tanggal 30 Mei 1619 ditandai dengan kehancuran Jayakarta yang kemudian dibangun kembali menjadi kota baru bernama Batavia.
Kota Batavia pada masa kolonial Belanda keadaanya jauh berbeda dengan wajah ibukota Republik Indonesia, Jakarta, sekarang. Dulu hutan rawa dan sawah masih mengitari daerah Batavia, sedangkan saat ini gedung perkantoran dan pusat perbelanjaanlah yang mengitari daerah Jakarta. Sebagai kota kolonial, kota Batavia dibangun sesuai dengan tata kota di Belanda. Pada awal pembangunan kota Batavia, Belanda mendirikan Benteng di sekitar sungai Ciliwung. Daerah itu segera menjadi pusat kegiatan VOC dengan dibangunnya tempat tinggal gubernur jenderal, kantor, dan sebagainya. Kekhasan yang mencirikan kota di Belanda tampak melalui sistem saluran yang digali melaluisungai sehingga menembus ke kota. Terudan dan saluran air yang dibuat Belanda digunakan untuk transportasi dengan perahu yang membawa barang-barang.


Kondisi Pribumi pada Masa Kolonial Belanda

Kehidupan yang layak di Batavia memang hanya dirasakan oleh kolonial Belanda beserta orang Eropa yang menempati Weltenvreden. Bagi pribumi atau inlanders yang bermukim ditanah-tanah partikelir, pribumi adalah kumpulan orang yang dijajah secara ganda oleh kolonial Belanda. Selain menguasai wilayah Batavia, kolonial Belanda juga tidak jarang bertindak sewenang-wenang terhadap penduduk melalui kaki tangannya. Sebagai akibatnya, sebagian besar penduduk menjadi aptis menerima nasibnya yang malang. Ada pula pribumi yang mengandalkan kekuatan fisik serta ketrampilannya berkelahi, ditambah dengan ilmu klenik sebagai penguat semangat, untuk melepaskan diri dari ikatan penjajahan ganda itu,
Keadaan pribumi di kampung-kampung yang tersebar di Batavia, seperti di daerah Krukut, Pecenongan, kampung Mangga Besar, Kebon Jeruk, Angke, Jembatan Lima, dan sebagainya tentu saja berbeda dengan keadaan orang Eropa di Weltenvreden. Pada pagi hari bila kita dari jalan Medan Merdeka kemudian menyeberang jembatan Prapatan, terlihat banyak penduduk pribumi yang mandi dan mencuci pakaian di Sungai Ciliwung. Rumah-rumah di kampung umumnya dari kayu, bambu, dan jerami. Lingkungan di kampung terlihat ada yang tidak bersih, di sekitarnya tergenang rawa dan rumah mereka terletak di jalan-jalan kecil. Bencana yang sering mereka alami antara lain adalah banjir dan kesulitan mendapat air bersih (Abeyasekere, 1987: 70-71).
Masyarakat jajahan, seperti halnya mesyarakat Betawi pada masa yang lalu, menghasilkan sastra yang jelas menggambarkan keadaan masyarakatnya yang tergencet, terbelakang, penuh penderitaan. Kalaupun ada yang diceritakan "memperoleh penghidupan yang layak, ialah mereka yang beruntung "sebagai alat penjajah, karena ketaatan dan kesediaannya untuk dijadikan alat penjajah, sebagaimana banyak diceritakan dalam cerita rakyat Betawi, menjadi mandor atau pecalang. Namun, adapula pribumi yang berprofesi sebagai penyalin naskah untuk menghidupi keluarga. Selain itu, penyewaan naskah pun menjadi salah satu mata pencaharian pribumi saat itu.

Penyalinan Naskah di Algemeene Secretarie
Dari naskah-naskah Melayu, kita mengetahui adanya orang-orang pribuimi di Batavia yang bekerja sebagai penyalin naskah. Di antara para penyalin ada yang dapat dikatakan professional. Mereka itu adalah para juru tulis yang bekerja untuk pemerintah Belanda di kantor Algemeene Secretarie (AS). Meskipun terdapat pribumi yang menjadi penyalin naskah atau dapat disebut sebagai pegawai Belanda, riwayat para penyalin AS tidak dapat terdeteksi. Ini dapat diartikan bahwa peranan para penyalin atau juru tulis pribumi tidak dihargai oleh Belanda.
Pada dasarnya tugas juru tulis atau penyalin naskah AS sangat penting bagi Belanda. Dari naskah yang disalin oleh para juru tulis tersebut, Belanda dapat mempelajari bahasa dan adat istiadat budaya Indonesia. Hal ini merupakan cara Belanda untuk memahami tentang penduduk pribumi sehingga di kemudian hari dapat memperluas dan mengokohkan kekuasaan Belanda di Indonesia.
Penyalinan Naskah di Langgar Tinggi
Langgar tinggi dikenal sebagai tempat ibadah umat Islam. Langgar tinggi yang terkenal dan masih terdapat di Jakarta ada dua buah, yaitu Langgar Tinggi di Pecenongan dan Langgar Tinggi di Pekojan. Kedua langgar tinggi itu merupakan pusat-pusat pergumulan intelektual Melayu Betawi. Dari langgar tinggi Pekojan lahir Sayyid Usman bin Yahya, penulis 50 judul buku agama Islam dalam bahasa Melayu Betawi, dan sastrawan Melayu Betawi, Muhammad Bakir, lahir dari Langgar Tinggi di Pecenongan.
Langgar Tinggi di Pecenongan dikenal pula sebagai Perpustakaan Fadli. Di Perpustakaan ini terdapat berbagai koleksi naskah yang disalin oleh M. Bakir dan Sapirin. Koleksi naskah disewakan sebagai sumber nafkah. Naskah di tempat ini berjumlah lebih dari 70 dan hampir semuanya ditulis oleh mereka sendiri. Menurut Muhadjir, pada abad ke-19 terdapat tradisi penyalinan naskah dengan tujuan komersial, yang menjadi salah satu sumber penghasilan. Keluarga Fadli, orang tua Muhammad Bakir dari Pecenongan, termasuk salah satu keluarga pengarang atau penyalin naskah yang demikian.
Ketika itu, naskah-naskah cerita ditulis dalam huruf Arab-Melayu (Arab Jawi). Pada umumnya naskah tersebut tidak dibaca sendiri, melainkan dibacakan keras-keras oleh seseorang di hadapan publiknya. Mengingat ketika itu hanya sedikit orang yang dapat membaca, dan lebih banyak yang hanya bisa mendengarkannya. Ketika hiburan masih langka, banyak warga Betawi yang mencari hiburan ke perpustakaan. Karena sifatnya komersial, pada halaman terakhir ada bait-bait syair yang berisi harapan penulis pada pembaca agar jangan melupakan uang sewa, yang akan dipergunakan untuk keluarganya.


Daftar Pustaka:
Chambert-Loir. 2009. Sapirin bin Usman: Hikayat Nahkoda Asik, Muhammad Bakir:Hikayat Merpati Mas & Merpati Perak. Jakarta: EFEO & PNRI.
Rukmi, Maria Indra. 1997. Penyalinan Naskah Melayu di Jakarta pada Abad XIX. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
www.beritajakarta.com
www.pikiran-rakyat.com

BELAJAR DARI BUNGA : MEMBERI ARTI HINGGA MATINYA

Tak ada seorang pun yang tidak mengenal bunga dan menyukainya. Sejak dahulu hingga sekarang, banyak orang mengenalnya sebagai lambang kelembutan, kecantikan, kasih sayang, dan lainnya. Hingga banyak judul lagu yang dihasilkan para penggubah, bersumber dari bunga. Misalnya, “Melati di Tapal Batas”, “Melati dari Jaya Giri”, “Bunga Seroja”, “Sekuntum Mawar Merah”, dan “Bunga Nirwana”.

Sayangnya, orang hanya mengenal bunga dari sisi keindahan, kelembutan, aroma yang ditebarkan, dan nilai ekonomi yang relatif tinggi. Padahal, bunga mengandung manfaat lain yang luar biasa, yaitu metafora agung yang sarat nilai untuk dijadikan pedoman dalam mengarungi biduk kehidupan.

Allah berfirman dalam QS Ali Imran [3]: 191, “… (seraya berkata), 'Ya, tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.'”
Berikut beberapa nilai kehidupan pada bunga itu. Pertama, bunga selalu memberikan manfaat buat banyak orang. Ia memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Itu dibuktikan dengan pasar bunga dan toko bunga yang tak pernah sepi. Tak hanya orang, kupu-kupu pun senantiasa menari kegirangan ketika hinggap menghisap madunya.

Kedua, bunga selalu siap menyapa siapa pun dalam setiap keadaan. Mulai dari keadaan suka saat pesta pernikahan sampai keadaan duka dalam suasana kematian. Ketiga, bunga selalu menebarkan aroma wangi dan menyegarkan siapa pun. Kendati suatu saat ia dicampakkan, bunga tetap saja konsisten dan istikamah menebarkan wanginya sampai batas akhir kekuatannya.

Keempat, bunga rela mekar sekalipun untuk layu dan siap digantikan dengan generasi bunga segar berikutnya. Demikian antara lain metafora bunga yang tak pernah bosan menawarkan arahan kebijakan dalam berkehidupan.

Metafora bunga sudah seharusnya diteladani. Setiap orang harus selalu memberikan manfaat bagi orang lain sekecil apa pun. Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang paling baik adalah orang yang panjang umurnya dan banyak memberikan manfaat (hasuna 'amaluh). Sebaliknya, orang yang paling buruk adalah orang panjang umurnya dan buruk perilakunya (sa'a 'amaluh).

Pelajaran yang diajarkan bunga menyadarkan kita untuk siap digantikan oleh yang lain dan baru dengan aromanya yang lebih wangi. Regenerasi dan kaderisasi harus berlanjut secara cepat. Kader-kader muda yang mumpuni harus dihargai dan diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mendarmabaktikan dirinya dalam memajukan masyarakat dan bangsa. Sebab, jika kerakusan berkuasa terus berlanjut, berarti ia takabur dengan dirinya dan menutup rapat roda perputaran generasi berikutnya. Walhasil, seharusnya memang siapa pun layak banyak belajar dari kehidupan sang bunga. Wallahualam.
(Dra Hj Lily Musfirah Nurlaily MA/ Republika.co.id)