Oleh Fitri
Apriliani Lestari*, 0806466241
Setiap daerah di
Indonesia memiliki kekhasan yang menandakan kehidupan sehari-hari yang
dilakukan warga di daerah tersebut. Kekhasan itu dapat berupa bahasa, kepercayaan,
budaya, seni, ritual keagamaan, adat istiadat, dan norma yang berlaku. Pada
tulisan ini akan dilakukan pemaparan dan analisis terbatas mengenai kekhasan
suatu daerah dalam hal berkesenian. Lingkup kecil pembahasannya adalah kesenian
Didong, Rebab Pesisir Selatan, dan Pantun Kentrung sebagai tradisi sekaligus
sastra lisan Indonesia.
Tradisi lisan adalah
sebagian kebudayaan yang diwariskan turun-temurun secara lisan kemudian
dilisankan, sedangkan sastra lisan adalah suatu bentuk tuturan atau muatan dalam
sebuah pertunjukkan lisan yang disampaikan hanya melalui bahasa yang dilisankan.
Sastra lisan belum menjadi sebuah
tradisi jika belum diwariskan turun-temurun, setidaknya tiga generasi. Selanjutnya,
tradisi lisan mencakup segala hal yang dilisankan, mulai dari bahasa, mimik, gesture, alat penunjang (alat musik),
dan situasi yang dibangun oleh penonton. Lain halnya dengan sastra lisan yang
“hanya” memperhatikan bahasa dari sebuah pertunjukkan lisan. Pertunjukkan yang
saya maksud adalah proses timbal-balik atau komunikasi langsung antara sumber
dan informan lisan yang pasti selalu ada dalam proses tradisi dan sastra lisan.
Itulah korelasi (perbedaan) antara tradisi lisan dan sastra lisan.
Selain tradisi dan
sastra lisan, dalam ilmu kebudayaan juga dikenal istilah folklore. Menurut Alan
Dundes, folk adalah sekelompok orang
yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat
dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya (dalam folklore Indonesia). Dalam
komunitas yang memiliki corak kekahasan yang sama mereka mempunyai kesadaran
kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. Pengertian dari lore adalah sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun
menurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak
isyarat atau alat pembantu pengingat.
Lalu apakah keterkaitan
serta perbedaan antara folklore, tradisi lisan, dan sastra lisan? Perbedaan
serta keterkaitan antara tradisi dan sastra lisan sudah dipaparkan di atas. Kemudian
kaitan kedua hal tersebut dengan folklore dapat kita titik beratkan kepada kata
“lisan”. Dalam tradisi dan sastra lisan terjadi proses komunikasi atau
interaksi langsung. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi dalam folklore karena
cakupan folklore lebih luas, tidak sekadar lisan. Untuk memperdalam pemahaman
mengenai ketiga istilah ini, kita akan masuk ke contoh kesenian yang ada di
Indonesia, yaitu Didong, Rebab Pesisir Selatan, dan Pantun Kentrung berikut ini
Didong
Gayo dikenal
memiliki kekayaan dalam hal seni suara dan tari. Salah satu kesenian yang akan
kita ulas adalah didong. Didong merupakan salah satu seni suara dan sastra dari
Gayo yang masih utuh bertahan sampai saat ini. Formula yang terdapat dalam
didong adalah tampilnya dua grup yang tiap grup berjumlah sekitar tiga puluh
orang anggota yang juga sudah termasuk para Ceh. Mereka duduk melingkar pada
masing-masing grup. Dalam didong terjadi saling membalas pantun antara dua
grup. Formula yang terus bertahan di setiap generasi sebagai tanda bahwa didong
merupakan tradisi lisan.
Pantun
yang dilontarkan pada pertunjukkan merupakan unsur dari sastra lisan. Didong
sudah menjadi identitas masyarakat Gayo yang memiliki keahlian dalam bersastra
atau bersyair, terutama bagi para Ceh. Identitas dan pewarisan didong atas
masyarakat Gayo menandakan kesenian ini juga sebagai folklore.
Hal-hal penting yang berperan dalam pertunjukkan didong adalah penonton dan pantun. Penonton merupakan juri yang ideal dalam pertunjukkan karena dapat menilai secara obyektif kualitas isi dari pantun yang dibawakan setiap grup. Semakin banyak dan semangat tepukan penonton akan memicu gairah tim untuk membuat pantun yang cerdas dan kreatif. Pembendaharaan kosakata juga diperhatikan dalam pertunjukkan didong.
Hal-hal penting yang berperan dalam pertunjukkan didong adalah penonton dan pantun. Penonton merupakan juri yang ideal dalam pertunjukkan karena dapat menilai secara obyektif kualitas isi dari pantun yang dibawakan setiap grup. Semakin banyak dan semangat tepukan penonton akan memicu gairah tim untuk membuat pantun yang cerdas dan kreatif. Pembendaharaan kosakata juga diperhatikan dalam pertunjukkan didong.
Rebab Pesisir Selatan
Rebab
Pesisir Selatan (RPS) adalah salah satu kesenian yang berasal dari Minangkabau.
RPS sudah dikenal lama oleh warga yang tinggal di kawasan pantai barat selatan
Sumatera Barat sampai perbatasan Provinsi Bengkulu. Saat ini, RPS sudah dikenal
pula di luar wilayah tersebut, seperti daerah Padang, Solok, dan Agam. Formula
yang terdapat pada RPS adalah pengisahan secara lisan suatu kaba (cerita) dengan diiringi instrumen
rebab oleh dua orang penampil. Formula ini tetap sama dilakukan tiap generasi, inilah
salah tanda bahwa RPS merupakan tradisi lisan.
Kaba
yang dituturkan oleh penampil merupakan unsur sastra lisan dalam tradisi ini.
RPS adalah gambaran identitas Minangkabau karena dalam ceritaya dikisahkan tentang
pemuda yang berusaha merintis sukses dengan merantau. Kepemilikan identitas
kelompok tersebut menandakan RPS termasuk folklore. Kepemilikan tersebutlah
yang menjadi daya tarik RPS karena penonton dewasa Minangkabau dapat
bernostalgia tentang perantauannya dan penonton remaja dapat mengimajinasikan
diri tentang perantauan.
Peran
penonton sangat besar dalam pertunjukkan RPS karena pertunjukkan baru dimulai
ketika penonton sudah berdatangan dan berakhir saat penonton sudah banyak yang
pergi. Hal penting yang ikut berperan dalam RPS adalah instrumen yang
digunakan, rebab. Pertunjukkan RPS tidak akan berlangsung tanpa penonton dan
iringan rebab.
Jika
dua kesenian sebelumnya berasal dari Pulau Sumatra, kini kita akan membahas
kesenian dari Pulau Jawa, tepatnya Provinsi Jawa Timur, yaitu Pantun Kentrung. Penceritaan
Pantun Kentrung dibawakan oleh seorang dalang kentrung dan panjak dalam
sebuah acara. Acara yang dimaksud adalah perayaan tujuh bulanan, sunatan,
perkawinan, ruwatan, sedekah desa, dan perayaan kemerdekaan Indonesia. Cerita
yang dipaparkan bergantung pada acara yang digelar.
Formula yang terdapat
di dalam Pantun Kentrung adalah dalang kentrung
yang memainkan instrumen kendang sambil bercerita, panjak yang bertugas mengiringi dalang sambil memainkan
bunyi-bunyian bernama terbang, dan
penanggap. Pewarisan formula ini menandakan kesenian ini merupakan tradisi
lisan, sedangkan cerita yang dibawakan menandakan adanya unsur sastra lisan.
Pantun Kentrung sudah menjadi identitas masyarakat Jawa Timur hal tersebut yang
menjadikan kesenian ini sebagai folklore. Unsur penonton atau penanggap sangat
penting, salah satunya sebagai pemyampai kritik sosial.
Pembahasan mengenai
Didong, Rebab Pesisir Selatan, dan Pantun Kentrung menunjukkan satu inti yang
sama, yaitu disampaikan secara lisan. Selain itu, ketiganya memiliki hubungan sebagai
identitas komunitas di daerah asal masing-masing dan yang terpenting adalah
semua kesenian tersebut mengalami pewarisan turun-temurun. Setiap kesenian atau
kebudayaan memiliki corak khas yang tidak dapat saling menggantikan. Oleh
karena itu, kita harus menghargai perbedaan formula di tiap kesenian sebagai
kekayaan budaya Indonesia. Yang perlu kita sadari adalah kesenian merupakan
cerninan atau identitas suatu bangsa, apabila kita mampu menghargai dan
menjaganya, akan mudah kita memelihara persatuan seluruh Indonesia.
Sumber:
Danandjaja.
James. 2002. Folklore Indonesia.
Jakarta: Pustaka Utama Grafitti.
Endarswara,
Suwardi. 2010. Folklore Jawa: Macam,
Bentuk, dan Nilainya. Jakarta: Penaku.
Melalatoa.
1982. Didong: Kesenian Tradisional Gayo.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Suryadi.
1993. Rebab Pesisir Selatan: Zamzami dan
Marlaini. Jakarta: Yayasan Obor Indoneia
*Esai
ini merupakan tugas Mata Kuliah Sastra Lisan yang menjadi penilaian Ujian
Tengah Semester.
*Penulis adalah mahasiswa semester 7 Universitas Indonesia, Program Studi Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar