Kamis, 10 November 2011

Cerminan Kekayaan Budaya Indonesia melalui Didong, Rebab Pesisir, dan Pantun Kentrung*


Oleh Fitri Apriliani Lestari*, 0806466241


Setiap daerah di Indonesia memiliki kekhasan yang menandakan kehidupan sehari-hari yang dilakukan warga di daerah tersebut. Kekhasan itu dapat berupa bahasa, kepercayaan, budaya, seni, ritual keagamaan, adat istiadat, dan norma yang berlaku. Pada tulisan ini akan dilakukan pemaparan dan analisis terbatas mengenai kekhasan suatu daerah dalam hal berkesenian. Lingkup kecil pembahasannya adalah kesenian Didong, Rebab Pesisir Selatan, dan Pantun Kentrung sebagai tradisi sekaligus sastra lisan Indonesia.
Tradisi lisan adalah sebagian kebudayaan yang diwariskan turun-temurun secara lisan kemudian dilisankan, sedangkan sastra lisan adalah suatu bentuk tuturan atau muatan dalam sebuah pertunjukkan lisan yang disampaikan hanya melalui bahasa yang dilisankan. Sastra  lisan belum menjadi sebuah tradisi jika belum diwariskan turun-temurun, setidaknya tiga generasi. Selanjutnya, tradisi lisan mencakup segala hal yang dilisankan, mulai dari bahasa, mimik, gesture, alat penunjang (alat musik), dan situasi yang dibangun oleh penonton. Lain halnya dengan sastra lisan yang “hanya” memperhatikan bahasa dari sebuah pertunjukkan lisan. Pertunjukkan yang saya maksud adalah proses timbal-balik atau komunikasi langsung antara sumber dan informan lisan yang pasti selalu ada dalam proses tradisi dan sastra lisan. Itulah korelasi (perbedaan) antara tradisi lisan dan sastra lisan.
Selain tradisi dan sastra lisan, dalam ilmu kebudayaan juga dikenal istilah folklore. Menurut Alan Dundes, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya (dalam folklore Indonesia). Dalam komunitas yang memiliki corak kekahasan yang sama mereka mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. Pengertian dari lore adalah sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun menurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
Lalu apakah keterkaitan serta perbedaan antara folklore, tradisi lisan, dan sastra lisan? Perbedaan serta keterkaitan antara tradisi dan sastra lisan sudah dipaparkan di atas. Kemudian kaitan kedua hal tersebut dengan folklore dapat kita titik beratkan kepada kata “lisan”. Dalam tradisi dan sastra lisan terjadi proses komunikasi atau interaksi langsung. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi dalam folklore karena cakupan folklore lebih luas, tidak sekadar lisan. Untuk memperdalam pemahaman mengenai ketiga istilah ini, kita akan masuk ke contoh kesenian yang ada di Indonesia, yaitu Didong, Rebab Pesisir Selatan, dan Pantun Kentrung berikut ini
Didong
            Gayo dikenal memiliki kekayaan dalam hal seni suara dan tari. Salah satu kesenian yang akan kita ulas adalah didong. Didong merupakan salah satu seni suara dan sastra dari Gayo yang masih utuh bertahan sampai saat ini. Formula yang terdapat dalam didong adalah tampilnya dua grup yang tiap grup berjumlah sekitar tiga puluh orang anggota yang juga sudah termasuk para Ceh. Mereka duduk melingkar pada masing-masing grup. Dalam didong terjadi saling membalas pantun antara dua grup. Formula yang terus bertahan di setiap generasi sebagai tanda bahwa didong merupakan tradisi lisan.
            Pantun yang dilontarkan pada pertunjukkan merupakan unsur dari sastra lisan. Didong sudah menjadi identitas masyarakat Gayo yang memiliki keahlian dalam bersastra atau bersyair, terutama bagi para Ceh. Identitas dan pewarisan didong atas masyarakat Gayo menandakan kesenian ini juga sebagai folklore.
             Hal-hal penting yang berperan dalam pertunjukkan didong adalah penonton dan pantun. Penonton merupakan juri yang ideal dalam pertunjukkan karena dapat menilai secara obyektif kualitas isi dari pantun yang dibawakan setiap grup. Semakin banyak dan semangat tepukan penonton akan memicu gairah tim untuk membuat pantun yang cerdas dan kreatif. Pembendaharaan kosakata juga diperhatikan dalam pertunjukkan didong.

Rebab Pesisir Selatan
Rebab Pesisir Selatan (RPS) adalah salah satu kesenian yang berasal dari Minangkabau. RPS sudah dikenal lama oleh warga yang tinggal di kawasan pantai barat selatan Sumatera Barat sampai perbatasan Provinsi Bengkulu. Saat ini, RPS sudah dikenal pula di luar wilayah tersebut, seperti daerah Padang, Solok, dan Agam. Formula yang terdapat pada RPS adalah pengisahan secara lisan suatu kaba (cerita) dengan diiringi instrumen rebab oleh dua orang penampil. Formula ini tetap sama dilakukan tiap generasi, inilah salah tanda bahwa RPS merupakan tradisi lisan. 


Kaba yang dituturkan oleh penampil merupakan unsur sastra lisan dalam tradisi ini. RPS adalah gambaran identitas Minangkabau karena dalam ceritaya dikisahkan tentang pemuda yang berusaha merintis sukses dengan merantau. Kepemilikan identitas kelompok tersebut menandakan RPS termasuk folklore. Kepemilikan tersebutlah yang menjadi daya tarik RPS karena penonton dewasa Minangkabau dapat bernostalgia tentang perantauannya dan penonton remaja dapat mengimajinasikan diri tentang perantauan.
Peran penonton sangat besar dalam pertunjukkan RPS karena pertunjukkan baru dimulai ketika penonton sudah berdatangan dan berakhir saat penonton sudah banyak yang pergi. Hal penting yang ikut berperan dalam RPS adalah instrumen yang digunakan, rebab. Pertunjukkan RPS tidak akan berlangsung tanpa penonton dan iringan rebab.

 Pantun Kentrung

            Jika dua kesenian sebelumnya berasal dari Pulau Sumatra, kini kita akan membahas kesenian dari Pulau Jawa, tepatnya Provinsi Jawa Timur, yaitu Pantun Kentrung. Penceritaan Pantun Kentrung dibawakan oleh seorang dalang kentrung dan panjak dalam sebuah acara. Acara yang dimaksud adalah perayaan tujuh bulanan, sunatan, perkawinan, ruwatan, sedekah desa, dan perayaan kemerdekaan Indonesia. Cerita yang dipaparkan bergantung pada acara yang digelar. 
Formula yang terdapat di dalam Pantun Kentrung adalah dalang kentrung yang memainkan instrumen kendang sambil bercerita, panjak yang bertugas mengiringi dalang sambil memainkan bunyi-bunyian bernama terbang, dan penanggap. Pewarisan formula ini menandakan kesenian ini merupakan tradisi lisan, sedangkan cerita yang dibawakan menandakan adanya unsur sastra lisan. Pantun Kentrung sudah menjadi identitas masyarakat Jawa Timur hal tersebut yang menjadikan kesenian ini sebagai folklore. Unsur penonton atau penanggap sangat penting, salah satunya sebagai pemyampai kritik sosial.
Pembahasan mengenai Didong, Rebab Pesisir Selatan, dan Pantun Kentrung menunjukkan satu inti yang sama, yaitu disampaikan secara lisan. Selain itu, ketiganya memiliki hubungan sebagai identitas komunitas di daerah asal masing-masing dan yang terpenting adalah semua kesenian tersebut mengalami pewarisan turun-temurun. Setiap kesenian atau kebudayaan memiliki corak khas yang tidak dapat saling menggantikan. Oleh karena itu, kita harus menghargai perbedaan formula di tiap kesenian sebagai kekayaan budaya Indonesia. Yang perlu kita sadari adalah kesenian merupakan cerninan atau identitas suatu bangsa, apabila kita mampu menghargai dan menjaganya, akan mudah kita memelihara persatuan seluruh Indonesia.

Sumber:
Danandjaja. James. 2002. Folklore Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafitti.
Endarswara, Suwardi. 2010. Folklore Jawa: Macam, Bentuk, dan Nilainya. Jakarta: Penaku.
Melalatoa. 1982. Didong: Kesenian Tradisional Gayo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Suryadi. 1993. Rebab Pesisir Selatan: Zamzami dan Marlaini. Jakarta: Yayasan Obor Indoneia


*Esai ini merupakan tugas Mata Kuliah Sastra Lisan yang menjadi penilaian Ujian Tengah Semester.
*Penulis adalah mahasiswa semester 7 Universitas Indonesia, Program Studi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar