Minggu, 15 April 2012

Antara Kepenulisan dan Kelulusan


Saya harus menulis lagi. Semakin dekat dengan kelulusan sebagai sarjana sastra atau sebutlah sarjana humaniora saya semakin harus gencar menulis. Eits, tapi bukan menulis CV buat lamaran kerja nanti, lho. Bukan itu!

Saya ingin melancarkan “serangan mimpi” ke alam nyata. Setelah akhirnya 22 tahun bertempur dengan segala pertanyaan tentang ke mana harus melangkahkan kaki, tibalah waktunya menentukan pilihan. Pilihan yang paling baik—semoga baik juga menurut Allah—adalah melalui kepenulisan. 

Ya. Ini terkait pilihan profesi atau bidang pekerjaan selepas menjadi mahasiswa. Insya Allah kepenulisanlah yang saya pilih setelah agak lama bergulat dengan waktu dan profesi-profesi lain. Akan tetapi, masih mengambang sebenarnya menulis apa? Apa ya enaknya? Yang berawal dari hobi, kemudian menghasilkan duit yang  berlimpah. Eh,eh, tidak perlu belimpah sebenarnya, asalkan bisa buat sangan, pangan, papan, jalan, infaq, dan beli buku per bulannya. Oia, satu lagi, buat tabungan haji dan anak pun juga deh.  

Apakah saya bakal mencoba daftarkan diri ikut CPNS?
Itu kayaknya menjadi peluang yang cukup besar deh. Sebenarnya, aku mau-mau aja asalkan tetep bisa nikah di usia 23 plus bisa keliling Indonesia. Kira-kira bisa ga ya? Kalo semisalnya tidak memungkinkan, aku yakin rizki Allah terbuka di mana saja. Allah yang akan memberi kita rizki kok, bukan manusia. Dengan keyakinan itulah, aku memilih untuk fokus di ranah profesi yang lebih free, menyenangkan sekaligus menegangkan, tapi sarat pembelajaran dan penuh manfaat dunia-akhirat. Uhuy banget yaa. Insya Allah yang bersesuaian dengan kepenulisan.

Apa sih yang dimaksud “kepenulisan,” Fit?
Nah, kepenulisan itu ya yang berhubungan dengan “tulis-menulis”. Perlu ditekankan memang, bukan “edit-mengedit” ya. Karena saya lulusan sastra Indonesia, insyaAllah yang mengedit tulisan saya adalah diri saya sendiri. Akan tetapi, saya maunya mengedit tulisan sendiri, bukan tulisan orang lain, kecuali suami saya seorang penulis juga, pasti saya yang editin tulisan dia hehe. 
Sebenarnya ranah kepenulisan itu banyak macamnya, contoh, jika tulisannya ilmiah, profesinya bisa saja dosen peneliti, staf dalam suatu kelembagaan, ilmuwan, juru tulis kepresidenan atau yang berbau lembaga struktural juga bisa. Ada pun tulisan yang populer saat ini adalah tulisan jurnalistik yang mengulas serba-serbi infotanment, gossip, kuliner, travel, atau berita  lainnya.
Lalu, kepenulisan jenis apakah yang akan saya pilih? Sayangnya, saya belum mau serta mampu menjawab selama Allah belum memberi clue kepada saya. *nyengir dikit deh

Profesi sebelumnya sebagai pengajar bimbel dan privat, bagaimana kelanjutannya?
Haruskah dilanjutkan? Pertanyaan yang melahirkan pertanyaan baru, ini memang “gaya” favorit saya. Kalau ada yang dapat menembus relung batin saya yang terdalam, pasti pertanyaan tersebut dapat terjawab dengan mudah. Bismillah, jawaban saya saat ini adalah saya ingin membiarkan “mimpi” saya menaungi kenyataan saya mendatang, dan menjadi pengajar itu bukan mimpi saya.
Saya ingin menjadi pendidik, bukan pengajar. Yang perlu ditekankan adalah, bimbel atau les privat itu tidak membutuhkan pendidik. Satu hal lagi, saya tidak ingin menjadikan “pendidik” sebagai profesi. Mendidik sebuah generasi adalah keharusan bagi saya.
Lantas apakah profesi saya sebagai guru saja. Untuk saat ini saya tidak dapat mengatakan saya tidak mau menjadi guru. Akan tetapi, saya harus katakan, berprofesi sebagai guru, bukan mimpi saya. Sungguh, saya tidak pernah memandang sebelah mata profesi yang paling mulia ini. Tidak sama sekali. Mimpi saya yang terkait pendidikan formal adalah saya harus punya sekolah. Semoga terjawab sudah. *senyum dulu deh

Sepertinya saya harus banyak “membaca”, mendengar, dan mengamati agar langkah ini semakin pasti menuju ridho Illahi Rabbi.

Tetap semangat, dan jagalah terus mimpi itu.

1 komentar: