Saya harus menulis lagi. Semakin
dekat dengan kelulusan sebagai sarjana sastra atau sebutlah sarjana humaniora
saya semakin harus gencar menulis. Eits,
tapi bukan menulis CV buat lamaran kerja nanti, lho. Bukan itu!
Saya ingin melancarkan “serangan
mimpi” ke alam nyata. Setelah akhirnya 22 tahun bertempur dengan segala
pertanyaan tentang ke mana harus melangkahkan kaki, tibalah waktunya menentukan
pilihan. Pilihan yang paling baik—semoga baik juga menurut Allah—adalah melalui
kepenulisan.
Ya. Ini terkait pilihan profesi
atau bidang pekerjaan selepas menjadi mahasiswa. Insya Allah kepenulisanlah yang
saya pilih setelah agak lama bergulat dengan waktu dan profesi-profesi lain.
Akan tetapi, masih mengambang sebenarnya menulis apa? Apa ya enaknya? Yang berawal
dari hobi, kemudian menghasilkan duit yang
berlimpah. Eh,eh, tidak perlu
belimpah sebenarnya, asalkan bisa buat sangan, pangan, papan, jalan, infaq, dan
beli buku per bulannya. Oia, satu lagi, buat tabungan haji dan anak pun juga
deh.
Apakah saya bakal mencoba daftarkan diri ikut CPNS?
Itu kayaknya menjadi peluang yang
cukup besar deh. Sebenarnya, aku mau-mau aja asalkan tetep bisa nikah di usia
23 plus bisa keliling Indonesia.
Kira-kira bisa ga ya? Kalo semisalnya tidak memungkinkan, aku yakin rizki Allah
terbuka di mana saja. Allah yang akan memberi kita rizki kok, bukan manusia.
Dengan keyakinan itulah, aku memilih untuk fokus di ranah profesi yang lebih free, menyenangkan sekaligus
menegangkan, tapi sarat pembelajaran dan penuh manfaat dunia-akhirat. Uhuy banget yaa. Insya Allah yang
bersesuaian dengan kepenulisan.
Apa sih yang dimaksud “kepenulisan,” Fit?
Nah, kepenulisan itu ya yang
berhubungan dengan “tulis-menulis”. Perlu ditekankan memang, bukan
“edit-mengedit” ya. Karena saya lulusan sastra Indonesia, insyaAllah yang
mengedit tulisan saya adalah diri saya sendiri. Akan tetapi, saya maunya
mengedit tulisan sendiri, bukan tulisan orang lain, kecuali suami saya seorang
penulis juga, pasti saya yang editin tulisan dia hehe.
Sebenarnya ranah kepenulisan itu
banyak macamnya, contoh, jika tulisannya ilmiah, profesinya bisa saja dosen
peneliti, staf dalam suatu kelembagaan, ilmuwan, juru tulis kepresidenan atau
yang berbau lembaga struktural juga bisa. Ada pun tulisan yang populer saat ini
adalah tulisan jurnalistik yang mengulas serba-serbi infotanment, gossip,
kuliner, travel, atau berita lainnya.
Lalu, kepenulisan jenis apakah
yang akan saya pilih? Sayangnya, saya belum mau serta mampu menjawab selama
Allah belum memberi clue kepada saya.
*nyengir dikit deh
Profesi sebelumnya sebagai pengajar bimbel dan privat, bagaimana
kelanjutannya?
Haruskah dilanjutkan? Pertanyaan
yang melahirkan pertanyaan baru, ini memang “gaya” favorit saya. Kalau ada yang
dapat menembus relung batin saya yang terdalam, pasti pertanyaan tersebut dapat
terjawab dengan mudah. Bismillah,
jawaban saya saat ini adalah saya ingin membiarkan “mimpi” saya menaungi
kenyataan saya mendatang, dan menjadi pengajar itu bukan mimpi saya.
Saya ingin menjadi pendidik,
bukan pengajar. Yang perlu ditekankan adalah, bimbel atau les privat itu tidak
membutuhkan pendidik. Satu hal lagi, saya tidak ingin menjadikan “pendidik”
sebagai profesi. Mendidik sebuah generasi adalah keharusan bagi saya.
Lantas apakah profesi saya
sebagai guru saja. Untuk saat ini saya tidak dapat mengatakan saya tidak mau
menjadi guru. Akan tetapi, saya harus katakan, berprofesi sebagai guru, bukan
mimpi saya. Sungguh, saya tidak pernah memandang sebelah mata profesi yang
paling mulia ini. Tidak sama sekali. Mimpi saya yang terkait pendidikan formal
adalah saya harus punya sekolah. Semoga terjawab sudah. *senyum dulu deh
Sepertinya saya harus banyak
“membaca”, mendengar, dan mengamati agar langkah ini semakin pasti menuju ridho
Illahi Rabbi.
Tetap semangat, dan jagalah terus
mimpi itu.
ditulis tanggal 6 April 2012
BalasHapus