Kamis, 30 Januari 2014

Haruskah Obat? (Bukan Alur Rekayasa)

Kerumitan aktivitas pikiran dan mental lebih mempengaruhi turunkan kondisi tubuh
       dibandingkan aktivitas fisik secara berlebihan sekalipun.

Tersebutlah suatu Senin pagi yang tidak begitu cerah keluarga galaksi telah siap berangkat menuju lokasi "bekas" banjir di sekitar Kedoya. Jam keberangkatan sekitar pukul 09.00 dengan menggunakan angkot sewaan. Di perjalanan rintik-rintik air hujan jatuh tanpa diundang, masih sangat ringan. Perjalanan hanya memakan waktu kurang dari 20 menit. Kami disambut dengan meriah oleh hujan deras, sangat tajam dan para bintang perempuan hanya bergantung dengan spanduk untuk menghindari terpaan hujan. Para guru, termasuk saya, menghibahkan diri untuk berhujan-hujanan. Basah baju, jilbab, serta anggota tubuh, jelas, dan tanpa baju salinan sampai pembelajaran para bintang selesai pukul 14.00 ditambah tahfidz guru sampai ashar adalah sebuah kenyataan.

         Alur sakit yang saya alami dimulailah dari sana. Beberapa hari sebelum kejadian hujan-hujanan itu sebenarnya tugas pembelajaran, penilaian, pembuatan soal, dan remeh-temeh targetan hafalan di sekolah cukup memenuhi ruang kepala, dan hey, kehidupan ini bukan hanya di sekolah. Sayangnya, sulit mengeluarkan segala hal itu menjadi aksi nyata: terhambat. Sepulang sekolah hari Senin, demam tinggilah saya. Semenjak menjadI pembelajar bagi para bintang ini adalah kali kedua saya demam (belum setahun udah demam melulu, yaa). Cara mujarab bagi saya untuk menghilangkan demam tanpa obat adalah tidur. Yakinlah ketika tidur panas badan kita terserap oleh alas tidur sehingga suhu tubuh agak normal (insya Allah). Dipertengahan dan sepanjang malam, beberapa kali saya buang air kecil, sekitar, pukul 23.00, pukul 01.00, pukul 02.30, dan pukul 04.00. Walaupun demikian, cara yang saya gunakan tepat, Selasa pagi suhu tubuh menurun, walaupun kepala masih keliengan, keseimbangan masih kurang. Hari Selasa ada jadwal renang ternyata dan saya meminta-minta untuk tidak turun ke kolam, digantikan dengan ustadzah Sin.

         Aktivitas hari Selasa memang banyak gerakan olah tubuh dan di hari itu saya tidak lagi demam, tetapi meler yang astaghfirullah mubajir ingus (maaf, terlalu frontal kata-katanya). Saat itu saya menghabiskan 2x50 lembar tisu dalam waktu kurang dari 7 jam. Ketika situasi genting begitu saya melarang siapapun meminta tisu saya, bahkan saya agak emosi saat beberapa bintang asal mengambil tisu tanpa izin. Bukan bermaksud pelit, tapi saya sungguh butuh sekali bertahan dengan tisu, termasuk ketika sholat, betapa inginnya mem-pause sejenak aliran dari hidung itu.

         Saya berpikir keras, bagaimana menangani kasus hari kedua saat sedang meler-melernya. Prinsip dalam hati harus bertahan tanpa obat, dengan cara apapun. Pulang dari sekolah saya langsung mencampur air hangat dengan 3 sendok madu dan langsung tidur cepat. Hasilnya, sudah tidak buang air kecil di sepanjang malam, tetapi berubah menjadi batuk rejan. Kenapa ini? Saya beranggapan mungkin begitulah siklus si "sakit".  Hari Rabu, alhamdulillah say goodbye dengan tisu karena diganti handuk kecil atau saputangan handuk. Namun, apakah yang terjadi? Batuk semakin menjadi, benar-benar membuat gatal dan berdahak, kepala lebih pusing dari sebelumnya. Prinsip tetap dijalankan: tanpa obat, tanpa periksa ke dokter. Dalam hati berharap-harap cemas segera sembuh seutuhnya sambil menghitung waktu libur panjang sesaat lagi (padahal cuma 3 hari libur). Di hari Rabu nafsu makan menurun drastis dari biasanya. 

         Langsung tibalah di hari Kamis, kondisi tubuh lebih baik? Batuk sudah lebih kurang (huhu, tapi cuma berkurang sedikit), nafsu makan bertambah sedikit, walaupun belum tercium aroma makanannya. Masalah terbaru hari ini adalah hidung tersumbat parah. Entah kenapa sepulang dari sekolah sudah berniat makan bakso super pedas di dekat rumah, mungkin dapat mempersingat pilek atau batuk. Ternyata saudara-saudara, itu hanya mitos. Buktinya makanan pedas tidak memperbaiki apa-apa bagi tubuh saya. Hal yang jarang terjadi di hidup saya malah terjadi setelah makan bakso super pedas, yaitu muntah. Yah, terbuang sudah bakso yang saya atur sempurna pemakanannya di hari ini (kamis). Kejadian "pembuangan" itu setelah sekitar dua jam penyantapan, dan dimulai saat sedang tidur-tiduran kemudian batuk, bahkan saya pun kaget tadi saat "pembuangan".

         Dari rangkaian empat hari alur sakit, masihkah saya bertahan terhadap prinsip: tanpa obat, tanpa periksa ke dokter? Bingung. Bagian mana dulu yang diobati: hidung tersumbat, batuk rejan berdahak, kepala berputar-putar, atau apa. Saya dulu berteman cukup akrab dengan obat dan saat sakit hal pertama adalah menjauhi obat. Jika beberapa hari masih demikian, terpaksa dengan obat. Tipe sakit yang saya alami memang sejenis, sekitar bapil. Kalau demam cukup jarang kecuali saat masuk angin level 15 ala keripik maichi. Beberapa orang yang mengalami hal yang sama seperti saya mungkin mempunyai penyebab yang tidak jauh berbeda sehingga imunitas tubuh terganggu (ini ala kesok-tahuan dan pengalaman saya saja, sih, :-) )

Penyebab:
1. kerumitan pikiran (baca: stress) yang tidak diimbangi dengan "kesenangan" atau sebutlah  passion pribadi
2. manajemen emosi dan waktu yang di bawah rata-rata dari kebiasaan terdahulu
3. tidur berlebihan karena sudah terlalu lelah beraktivitas dalam pekerjaan. Hal ini dapat berimbas kepada pengolahan tubuh yang sangat jarang
4. asupan sayur dan buah yang kurang dari dua kali dalam seminggu (waduuh hampir tidak pernah)
5. pengulangan dari nomor urut satu sampai empat

Solusi:
1. istirahat secukupnya, hindari terlalu banyak
2. mulai untuk menghilangkan atau meminimalisasikan penyebab, hehe
3. lakukan kegitan yang kita senangi, misal saat nge-blog saya merasa lebih baik (meski mungkin asumsi, tapi begitu kata kenyataan)
4. jika solusinya kebanyakan saya yakin sudah sembuh detik ini juga

         Rencana awal saya tidak yakin menulis sebanyak ini, ternyata kepala dan tubuh saya berkata mampu, atas izin Allah. Pengalaman ini semoga bermanfaat terutama bagi diri saya yang kurang bersyukur diberi nikmat sehat, ampun ya Allah. Doa saya semoga saya cepat sembuh dan tidak mengalami hal yang sama berulang-ulang. Allah sebaik-baik Perencana, manusia sebaik-baik pembelajar atas rencana-Nya. Jika banyak kata yang salah, maklum sedang sakit :-) .




@ruang
30 Jan'14_ 22.46

3 komentar:

  1. Saya pikir tidak ada yang salah dengan meminum obat (apalagi jika memang sudah sakit). Sekedar parasetamol, obat batuk pilek sekali-dua kali minum, ditambah perbanyak istirahat dan minum air, cukup. Jikapun belum, mungkin memang harus pergi ke dokter.

    Saya pikir habattassaudah, madu lebih terkonteks pada masa pencegahan agar tidak sakit. Membantu daya tahan.tubuh.

    Saya pikir membiarkan tubuh dalam keadaan tidak normal (sakit) adalah bentuk kedzaliman atas tubuh itu sendiri.

    Saya pikir (jika ada) idealitas-idealitas yang tak berhubungan langsung dengan akidah dan sunnah tak perlu terlalu diperturutkan.

    Saya pikir jika terlalu nyelekit, perlu kiranya meminta maaf :))

    Semoga lekas sehat kalo begitu.

    BalasHapus
  2. Brother Gama memang sosok pemikir sejati.

    Alhamdulillah, sedari kemarin sudah minum obat (bukan paracetamol sih tapinya :)) dan sudah diniatkan merilis tulisan
    lanjutan, hihi

    Xie xie,..

    Nb: saya pikir brother Gama terhadap ilmu tidak kikir, tinggal kurangi berpikir-pikir,banyakin lagi dzikir biar pahala makin terukir. :-D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya akan mulai dengan mengira-ngira.

      Saya kira, menzikir sejatinya memikir. Tentang khidmat-khidmat yang berkelindan dalam tiap-tiap keadaan.

      Maka dari menzikir kemudian kita menginsafi bahwa tiap-tiap bulir tazkirah tak berhenti di titik ritual, tetapi melompat pada kebaikan yang bertambah-tambah.

      Maka saya kira, kita kiranya perlu berpikir banyak-banyak untuk mengingat-ingat bahwa zikir adalah mengingat, lebih dari sekedar ingat, juga melompat kepada kesadaran untuk menjadi baik yang senantiasa bertambah. :))

      Hapus