Sungguh ambigu judul yang saya berikan untuk tulisan ini. Akan tetapi, memang itulah yang saya alami. Mungkin bukan hanya saya, tetapi banyak orang di luar sana meneriakkan hal sama. Saya ceritakan mulanya seperti ini.
Sudah sepekan atau lebih sidang skripsi saya berakhir dengan indah, alhamdulillah, bernilai A. Segala jenis revisi, fotokopian serta CD pun telah usai disiapkan. Aktivitas di kampus jauh berkurang, hanya mengurus sedikit administrasi untuk persiapan wisuda. Lantas, dari sanalah ketidakbetahan terjadi.
Hati kecil saya terus saja menyuarakan untuk cepat mendapatkan pekerjaan halal, apa pun itu. Keluarga di rumah sibuk beli koran dan bertanya ke sana-sini tentang lowongan. Pada suatu perjalanan entah menuju kemana, saya melihat spanduk berisi pengumuman job fair, saya langsung berniat untuk ikut karena cukup dekat dari rumah.
Tidak sampai sebulan dari job fair, akhirnya saya pun bekerja sebagai Store Supervisior, perusahan retail farmasi ternama di Indonesia. Oke, sangat jauh dari bidang studi perkuliahan saya dan ternyata jauh pula dari perkiraan saya tentang posisi yang dimaksud.
Saya mulai bekerja tanggal 1 Agustus 2012, di regional dekat rumah, perumahan Kosambi Baru. Bukan, saya bukan karyawan kantoran. Saya bekerja di pertokoan, lebih tepatnya apotek. Prinsip saya pada saat sekolah dan kuliah adalah hanya mengerjakan aktivitas yang saya CINTAI, jika saya tidak sreg, walk out! Akan tetapi, prinsip itu seperti meleleh semenjak saya masuk dunia kerja. Kurang dari 4 bulan bekerja di apotek, sebutlah Century, saya sudah berniat untuk resign.
Keinginan "mulia" saya untuk resign dihalang habis-habisan oleh manager saya. Beliau wanita Solo yang lembut, jadi metode penghalangannya lebih membuat saya mengiyakan saja kemauannya. Beliau hanya menyuruh saya mengundur waktu resign menjadi sebulan mendatang. Bagi saya saat itu, jangankan sebulan, seminggu saja sudah bagai penyiksaan. Saya masih ingat jika saya masuk pagi sendiri, sambil membersihkan apotek (menyapu,mengepel,mengelap) pasti air mata sudah di pelupuk mata ala cinderlela dibabuin ibu tirinya, hehe. Hal itu karena saya tidak merasakan feeling good apalagi cinta terhadap pekerjaan itu.
Di bulan yang sama dengan penolakan resign, seorang ummi mengajak saya untuk bergabung dalam project pendirian SDIT sebagai pengajar bersama teman-teman seperjuangan di SMA. Ummi itu juga menegaskan bahwa saya boleh menyelesaikan kontrak 1 tahun di apotek, sampai 31 Juli 2013, baru kemudian full mengajar. Wah, Subhanallah, saya langsung berpikir ini memang jalan Allah menunda untuk mendapatkan pekerjaan yang bisa lebih saya cintai. Saya akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan kontrak setahun di Century kemudian saya mengajar.
Lantas rasa apakah yang saya tumbuhkan agar mampu bertahan tanpa cinta sampai kontrak selesai? Penerimaan dan pengharapan itu kata sederhananya. Menerima bahwa ini semua takdir Allah yang pasti ada hikmah tersirat serta terus belajar untuk selalu "menerima" dan selalu amanah dalam pekerjaan karena Allah. Berharap Allah pasti mengganti kesedihan dan rasa "berat" dalam hati saya dengan ganjaran lebih baik. Alhamdulillah, saya keluar dari Century sesuai waktu perjanjian dengan tanggung jawab semaksimal saya bahkan mungkin melebihi rasa cinta yang seharusnya ada terhadap pekerjaan ini.
Pertanyaan untuk saat ini, masa bekerja di Century telah selesai, berarti, apakah dirimu sudah mengecap rasa cinta di tempat kerja barumu, Fit? Tempat penuh inspirasi dan celotehan polos anak-anak itu begitu mudah untuk kau cintai, bukan? Untuk saat ini saya tidak ingin menjabarkan jawaban atas pertanyaan monolog saya. Saya hanya ingin menanamkan bahwa memang tidak ada cinta yang harus diutamakan, kecuali terhadap Allah dan Rasulullah. Biarlah cinta kepada Allah saja yang memampukan diri untuk bertahan.
Jadikanlah setiap pekerjaan, karirer, atau profesi sebagai bentuk jihad kita yang pasti bernilai di hadapan Allah. Itu saja. Wallahu'alam
@ruang
8 Des'13_ 15.39