Kamis, 24 Mei 2012

SIAPA SURUH “pergi” JAKARTA


Selalu timbul di pikiran saya, kenapa orang-orang Indonesia merasa harus datang ke Jakarta? Apalagi jika kita lihat sehabis lebaran Idul FItri,  yang tadinya pulang kampung sendiri, pas balik lagi ke Jakarta bertiga akibatnya tiba-tiba ada razia KTP dan sebagainya. Alasan orang-orang di luar Jakarta ingin datang ke Jakarta beragam dari yang sekadar jalan-jalan lihat monas sampai yang paling umum adalah mencari kerja.

Yup, mencari kerja. Saya harus membenarkan memang di Jakarta itu apa saja dapat diuangkan. Sampah, bisa diuangkan dengan jadi pemulung, beras beberapa butir plus botol air mineral kosong, bisa diuangkan dengan mengamen, bahkan yang hebatnya lagi mata melas, tampang lusuh, ditambah baju compang-camping bisa diuangkan dengan mengemis. Tuh, semua kerjaan ada di Jakarta. Bukan kerja biasa, itu semua kerja kreatif.

Jakarta: Wajah Indonesia?
Jika benar Jakartalah wajah Indonesia, sedih sekali hati saya. Sebagai orang –yang bisa dibilang—Jakarta asli (karena emak-babe, nenek-embah, dan kumpi lahir di Jakarta), saya prihatin jika Jakarta adalah kiblat Indonesia. Saya saja merencanakan pergi ke luar Jabodetabek, serta tinggal di daerah lain selepas kuliah. Kenapa? Karena rutinitas dan gaya hidup di Jakarta sudah menjemukan bagi saya.

Terus terang, saya sebagai mahasiswa program studi Indonesia UI, yang diajarkan tentang lokal genius, kebudayaan Indonesia, filosofi dari berbagai kesenian di Indonesia, tidak menangkap nilai-nilai khas Indonesia ada di Jakarta. Saya penasaran sebenarnya nilai-nilai tersebut yang sudah berubah atau “si Jakarta” ini yang bermasalah. Kalau kita berpikir wajah Indonesia adalah Jakarta, berarti nilai-nilai tersebutlah yang terkikis habis. Wah, berarti di kuliah para dosen menceritakan sejarah Indonesia zaman dulu. Benarkah?

Untuk orang-orang yang ingin datang ke Jakarta, lebih baik jangan meneruskan membaca tulisan ini . Saya akan mengungkap nilai-nilai “luhur” di Jakarta yang dianggap sebagai hal yang biasa.

1.      Boros waktu
Hal yang terkait pemborosan waktu sudah menjadi umum di Jakarta, apalagi kalau bukan kemacetan.  Eits, ada lagi selain macet, khususnya bagi pengguna bus transjakarta pasti mengalaminya, apakah itu? Mengantri di halte busway yang panas serta pengap. Saya punya cerita tentang ini. Berapa waktu yang dibutuhkan dari halte Rawa Buaya, Cengkareng ke Juanda? 1,5 jam jawabannya, padahal saya naik bus transjakarta. Huuuf.
Bayangkan, itu baru perpindahan dari Jakarta Barat-Jakarta Pusat.
            Seharusnya bisa saja engga boros-boros waktu amat, seandainya tidak berdesak-desakan, kita bisa memanfaatkan waktu untuk baca buku, belajar, dsb. Tapi kalau tidak nyaman serta was-was dicopet, ga bisa juga kan? Saya salut sama orang-orang yang setiap hari menggunakan jasa transjakarta, sabar bener menderita.  

2.      Berebut kekuasaan
Setiap orang berhak mencari kuasa, tidak salah. Terlebih lagi, berkuasa dalam rangka membenahi pemerintahan yang bobrok, sangat positif dan mulia. Sayangnya di Jakarta orang-orang pinternya rada kepinteran sehingga hal yang wajar (mencari kekuasaan) menjadi tidak wajar. Salah satu ketidakwajaran yang sudah umum adalah politik uang yang berakibat korupsi.
            Tidak semua elemen melakukan ketidakwajaran, tapi sudah terlalu umum sampai susah dicari mana yang jujur. Namanya orang pinter, hal yang tidak wajar bisa dicari teornya biar wajar. Seolah-olah kekuasaan adalah segalanya dan harus banget dicapai, sampai lupa akan kekuasaan Allah yang Maha. Buktinya banyak yang me”nomorsekian”kan kejujuran.

3.      Materialistis dan Sensasional
Bukan salah Syahrini yang pengen terkenal sampai harus buat sensasi. Kenapa jadi ke Syahrini? Karena dapat dikata dia kali ya yang terkenal akan sensasionalnya saat ini.  Di Jakarta sebagian besar dinilai dengan apa yang kamu punya. Contoh kecil, ketika riweh ada isu ketidak”shahih”an penggunaan Blackberry, langsung berita heboh mengabarkan bahwa hal itu tidak adil. Setiap televisi mengabarkan tentang isu itu aja, padahal saya yakin di Indonesia tidak lebih dari 10% yang punya Blackberry. So?
            Warga Jakarta demen deh hal-hal yang terkait sensasi. Mungkin bisa aja kita bilang, “Ah..dia mah cuma nyari-nyari sensasi.” Tapi setiap hari, toh, kita menikmati sensasi orang-orang tersebut dari tv, fb, dan twitter. Yah, sama yang ditonton sama yang menonton. Hal yang paling mahal saat ini di Jakarta, bukan lagi Mercedes Benz, Ferrari, kilauan emas berkarat-karat, bukan! Yang paling mahal sekarang adalah kesederhanaan.

4.      Gila hormat, pamer gelar
Kalau hal yang satu ini hampir dapat dikaitkan dengan kekuasaan, materialistis, dan sensasional. Begini alurnya, pertama beraksi biar menimbulkan sensasi dan terkenal secepat kilat. Jika sudah terkenal, tiba-tiba kekuasaan lebih mudah didapat. Kalau kekuasaan telah terjangkau tangan materi akan datang dengan sendiri. Tujuannya tidak lain biar dihormati, diteriakin, “ wiih hebatnya…” Mudah bukan? Perlu contoh, memang profesi apa sih yang mudah bersensasi kemudian terkenal? Artis. Nah, kita lihat, banyak artis sekarang di DPR, Wakil Gubernur, sampai Bupati. Kemampuannya? Wallahu’alam.
            Lagi, lagi ingin berbagai cerita seputar  kampus, tapi kali ini tentang pamer gelar. Ini lingkupnya kampus ya, baru kampus. Kalau mau acara kita didatangin banyak mahasiswa, sang pembicara harus dahsyat gelarnya, misalnya, acara selevel fakultas menghadirkan ketua BEM UI atau Mapres UI, nah kan keren tuh. Coba dibandingkan jika pembicaranya petugas penjaga ruang BEM dan staf penjaga perpus, kira-kira ada yang datang tidak, mungkin dikit kali ya.
            Saya sama sekali tidak menyalahkan orang yang ingin jadi ketua BEM atau Mapres, tidak, karena memang sah-sah saja. Bagaimana pun itu urusan tujuan masing-masing orang. Yang saya sorot sebenarnya adalah kita ini, sebagai penonton yang menikmati kegemilangan orang lain, padahal orang bergelar banyak mungkin saja tidak lebih mulia daripada orang yang tanpa gelar. Yah, apa mau dikata.

Tulisan ini tidak sepenuhnya cerminan utuh nilai-nilai di Jakarta. Sebut saja sebagian besar pandangan orang terhadap Jakarta. Yang namanya nilai, ada yang masih mempertahankan, ada yang ribet mempertanyakan, bahkan ada juga yang sudah meninggalkan. Bagi kalian, lebih baik mana?

(Fitri Apriliani Lestari_Prodi Indonesia UI)

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar