Seseorang terbengong-bengong
di depan laptop berisi tulisan hasil pencarian data skripsinya. Sebenarnya, sudah
rapi sususan data-data itu, tetapi si penulis masih asyik dengan
kebengongannya. Bengong karena bingung, hendak bagaimana dia mengolah kumpulan
data yang dia temukan sejak beberapa minggu lalu. Pikirannya melayang,
menerawang, masih sama ke arah mana pikiran itu melayang-menerawang: skripsi.
Penulis sudah
mengerjakan tiga bab dari enam bab yang harus diselesaikannya. Namun,
pikirannya kini bukan ke bab-bab terakhir yang belum selesai, melainkan
menyusun kata ucapan terima kasih untuk kata pengantar kelak. Ya, untuk sebuah
kata pengantar saja.
Satu per satu
wajah bermunculan di benaknya. Wajah yang lelah, bangga, gembira, dan segala. Itulah
wajah sang keluarga. Terulang lagi kenangan bersamanya yang lebih banyak
menyiksa. Penulis lebih senang mengatakan “tragedy” atau sebutlah “Ramadhan tragedy”.
Saat itu baru kumengerti manakah yang benar-benar keluarga.
Beberapa tahun
lalu penulis pernah merasa asing di dalam rumah karena aktivitas yang lumayan
banyak di luar rumah. Penulis merasa menemukan keluarga seutuhnya di sebuah wadah
dakwah sekolah, saat itu. Sampai waktu
terus berganti dan tibalah saat untuk lebih mengerti.
…
Segala sesuatu yang
membuatmu nyaman di saat bahagia itu bukan keluarga seutuhnya, segala sesuatu
yang tak letih menuntutmu untuk selalu terdepan dalam barisan juga tak dapat
dikatakan sebagai keluarga. Keluarga itu mencintai tanpa kata. Satu-satunya
tempat yang menerimamu apa adanya. Tempat yang mengenalimu secara jujur. Di kala
orang-orang meneriaki penuh caci, keluarga tempat untuk kembali menghimpun
serpihan semangat untuk berdiri kemudian berlari.
Sederhana sekali
keluarga ini. Penulis sibuk mencari kesungguhan arti sebuah kelurga di luar
sana. Dan… di tempat tinggal penulislah ternyata terjawab sudah arti
sebenarnya. Tiada kata manis yang tersedia, bukan senyuman tulus yang terterima,
namun sikap jujur itu yang menandakan cinta luar biasa. Keikhlasan yang tak
terbaca. Semua dilewati: luka, derita, putus asa. Tiada nasihat atau kata-kata
bijak. Hanya ada tindakan bijaksana yang sederhana dan tak terbaca bahwa itulah CINTA sesungguhnya.
Begitu rumitnya
berbicara kesederhanaan sebuah keluarga. Tidak mudah bagi saya mengungkapkannya.
Mungkin memang hanya untuk dinikmati dan disyukuri saja.
_4 Mei 2012 10.41
PM
Dengan buntelan
tisu yang terlanjur basah oleh airmata
semangaaaaaaaattttttt ......... :D
BalasHapus