Jumat, 04 Mei 2012

Apa Adanya Sebuah Keluarga


Seseorang terbengong-bengong di depan laptop berisi tulisan hasil pencarian data skripsinya. Sebenarnya, sudah rapi sususan data-data itu, tetapi si penulis masih asyik dengan kebengongannya. Bengong karena bingung, hendak bagaimana dia mengolah kumpulan data yang dia temukan sejak beberapa minggu lalu. Pikirannya melayang, menerawang, masih sama ke arah mana pikiran itu melayang-menerawang: skripsi.
Penulis sudah mengerjakan tiga bab dari enam bab yang harus diselesaikannya. Namun, pikirannya kini bukan ke bab-bab terakhir yang belum selesai, melainkan menyusun kata ucapan terima kasih untuk kata pengantar kelak. Ya, untuk sebuah kata pengantar saja.
Satu per satu wajah bermunculan di benaknya. Wajah yang lelah, bangga, gembira, dan segala. Itulah wajah sang keluarga. Terulang lagi kenangan bersamanya yang lebih banyak menyiksa. Penulis lebih senang mengatakan “tragedy” atau sebutlah “Ramadhan tragedy”. Saat itu baru kumengerti manakah yang benar-benar keluarga.
Beberapa tahun lalu penulis pernah merasa asing di dalam rumah karena aktivitas yang lumayan banyak di luar rumah. Penulis merasa menemukan keluarga seutuhnya di sebuah wadah dakwah sekolah, saat itu.  Sampai waktu terus berganti dan tibalah saat untuk lebih mengerti.
Segala sesuatu yang membuatmu nyaman di saat bahagia itu bukan keluarga seutuhnya, segala sesuatu yang tak letih menuntutmu untuk selalu terdepan dalam barisan juga tak dapat dikatakan sebagai keluarga. Keluarga itu mencintai tanpa kata. Satu-satunya tempat yang menerimamu apa adanya. Tempat yang mengenalimu secara jujur. Di kala orang-orang meneriaki penuh caci, keluarga tempat untuk kembali menghimpun serpihan semangat untuk berdiri kemudian berlari. 

Sederhana sekali keluarga ini. Penulis sibuk mencari kesungguhan arti sebuah kelurga di luar sana. Dan… di tempat tinggal penulislah ternyata terjawab sudah arti sebenarnya. Tiada kata manis yang tersedia, bukan senyuman tulus yang terterima, namun sikap jujur itu yang menandakan cinta luar biasa. Keikhlasan yang tak terbaca. Semua dilewati: luka, derita, putus asa. Tiada nasihat atau kata-kata bijak. Hanya ada tindakan bijaksana yang sederhana dan tak terbaca  bahwa itulah CINTA sesungguhnya.
Begitu rumitnya berbicara kesederhanaan sebuah keluarga. Tidak mudah bagi saya mengungkapkannya. Mungkin memang hanya untuk dinikmati dan disyukuri saja.

_4 Mei 2012 10.41 PM
Dengan buntelan tisu yang terlanjur basah oleh airmata

1 komentar: