Kemarin, Rabu, 23 Mei
2012, Kompas mengadakan pelatihan Citizen Journalism and Creative Writing khusus
untuk program studi saya—prodi Indonesia—di ruang audit gedung 4 (4101). Bagi
saya ini adalah pelatihan pertama dalam hal jurnalistik. Seru dan membuka
banyak wawasan tentang dunia jurnalistik, terutama yang berwarna ke-KOMPAS-an.
Ketua IKSI (Ikatan Keluarga
Sastra Indonesia) bernama Riandy membuka pelatihan tersebut setelah ketua prodi
Indonesia, Ibu Vina, datang ke ruang 4101 sekitar pukul 14.15. Setelah acara
dibuka, Ibu Vina memberi sambutan sekaligus ucapan terima kasih atas kerjasama
yang dilakukan Kompas terhadap IKSI. Sambutan oleh Ibu Vina ditutup dengan pengharapan
agar kerjasama itu dapat terus berlangsung.
Pelatihan
dimulai
Pembicara pertama adalah
Bapak General Manager SDMU, Didiek Dwinarmiyadi, yang menjelaskan tentang
sejarah sepak terjang Kompas sehingga dapat menjadi surat kabar nomor satu di
Indonesia. Inilah yang saya sebut sebagai dunia jurnalistik berwarna
ke-KOMPAS-an. Hal pertama yang dikenalkan tentu saja pendiri, landasan utama
(visi-misi), serta produk Kompas yang mulai berkembang selain koran, misalnya
Kompas.com.
Sesi selanjutnya
dibawakan oleh salah satu reporter Kompas serta penulis buku tetralogi Pak Beye
bernama Wisnu Nugroho. Dari pembicara yang satu ini saya menemukan banyak inside (bahasa kerennya) atau inspirasi
(bahasa normalnya). Pembicara satu ini lebih banyak berbagi perjalanan karirnya
di Kompas yang dimulai pada tahun 2001. Jejang karirnya dimulai dari bekerja di
kompas bagian pendidikan, pernah juga di bagian peliputan Istana, dan banyak
lagi.
Bukan hanya berbagi pengalaman, Wisnu Nugroho
juga berbagi tips untuk menulis. Salah satu ungkapannya tentang menulis yang
cukup menohok bagi saya adalah “Menulis
untuk orang lain, bukan untuk diri sendiri. Bayangkanlah sosok pembaca tulisan
kita sedetail mungkin.” Woow, saya harus banyak melatih diri supaya tulisan
saya layak dipersembahkan untuk orang lain. Maklum, selama ini saya merasa
tidak ada yang akan sudi membaca tulisan saya, kecuali tulisan “agak ilmiah” hasil
tugas kuliah saya yang saya publikasikan di blog.
Untuk pembicara kedua
ini waktu yang diberikan cukup lama, tetapi bagi saya tidak terasa. Mungkin karena
pembawaan dan pengalaman yang disampaikan cukup asyik dan seru sehingga saya
sangat menikmati sesi Wisnu Nugroho. Akan tetapi, karena waktu sudah
menunjukkan pukul 15.32 dan sesi tanya-jawab pun sudah selesai, acara ini di-break sampai pukul 15.45.
Tentang
Copywriting
Walau kata sang MC yang
juga ketua IKSI acara dimulai lagi pukul 15.45, tetap saja ngaret pada kenyataannya. Pembicara selanjutnya sekaligus pembicara
terakhir ada dua orang, yaitu Mahansa EGS dan Ino Julianto. Ino adalah alumni
IKSI angkatan 2003. Kedua orang pembicara berbagi pengetahuan tentang tugas
copywriter yang berbeda bidang dengan bagian redaksi. Intinya Kompas sebagian
surat kabar harian pasti membutuhkan dana yang menunjang. Itu sebabnya diperlukan
salah satu bagian yang mengurus hal-hal yang terkait bisnis, yaitu bagian
copywriter.
Cara kerja copywriter
menurut saya lebih enjoy karena tidak
berkejar-kejaran dengan narasumber di lapangan. Akan tetapi, butuh ide kreatif
yang luar biasa agar menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan klien. Siapakah
klien yang dimaksud? Klien adalah orang atau badan usaha yang ingin menampilkan
iklannya di Kompas. Dari pengalaman yang
dibagi oleh kedua copywriter Kompas tersebut, hal yang paling sulit memang menyatukan
antara keinginan klien dengan kebutuhan pembaca.
Sedikit
Kesan tentang Kompas
Jika ditanyakan kepada
saya seberapa besar harapan untuk bisa bergabung dalam hal jurnalistik? Jawab saya,
sangat besar untuk saat ini. Apakah Kompaslah media terideal saat ini? Jawab saya,
iya sangat ideal dan memang Kompas adalah koran nomor satu di Indonesia.
Berarti saya tertarik untuk bergabung di Kompas? Eemmm.. saya tertarik walau
bukan dengan ketertarikan yang besar.
Kompas menjadi koran harian
terbesar karena integritas dan penghargan yang tinggi terhadap orang-orang yang
bekerja di dalamnya. Saya pasti banyak belajar di sana kalau saya dapat
bergabung. Namun, harus saya akui, seideal apa pun Kompas di mata orang-orang,
tetap bukan yang ideal di hati saya. Kenapa? Karena ada sedikit keraguan di
hati saya bahwa Kompas akan menerima saya untuk bergabung di dalamnya dengan
apa adanya saya. Bukan pesimis, hanya sentimen ideologis sedikit dan pikiran
saya dapat “melunak” kapan saja.
(Fitri Apriliani
Lestari_Prodi Indonesia 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar