Hari ini, Ahad, 22 Juli 2012, beberapa jam lalu, saya dan kelima teman serta satu senior berkunjung ke rumah salah satu guru ketika SMA. Bahasa kerennya silaturrahim. Sebutlah bukan silaturrahim biasa bagi kami karena dilakukan di awal Ramadhan, selain ada misi khusus (mungkin dapat dikatakan begitu).
Janji berkumpul di depan sebuah SMA Negeri pukul 09.30 dan baru sampai di rumah si Pak guru sekitar pukul 10.30. Hampir tiga setengah jam kami berbincang dengan si Pak guru yang memang aktif berbicara (hihi), tapi tidak ada setengah waktu tersebut membicarakan sebuah misi yang kami bawa. Lagi pula agak garing dan kurang etis jika to the point. Pertama-tama si Pak guru menanyakan rumah kami di mana serta pernyataan-pernyataan ringanlah intinya. Kemudian dilajutkan dengan kabar-kabar para guru di sekolah saya : siapa yang pensiun, siapa yang baru, dan siapa yang lainnya.
Pada awal pembicaraan entah kenapa si teman-teman banyak pasifnya (padahal biasanya..), jadilah kakak senior yang menyetir arah pembicaraan. Pokoknya dari segala pembicaraan itu saya memperhatikan banyak nama yang disebut si Pak guru seolah-olah kami kenal dengan nama tersebut, padahal sih tidak. Isi pembicaraan didominasi oleh sistem pendidikan di Indonesia, birokrasi yang merumitkan, dan sedikit banyak berdampak ke kondisi SMA 78 (uuppss..keceplosan).
Oia, di rumah si Pak guru juga ada istrinya yang menjelang akhir pertemuan intens bergabung dalam pembicaraan kami. Salah satu yang baru saya ketahui adalah si Pak guru dari suku Sunda dan istrinya dari Betawi. Menurut saya hal itu unik. Apakah uniknya? Sang istri berbicara masih medok sekali Betawinya, sedangkan si Pak guru masih cukup kental dengan kesundaannya. Ini berarti satu sama lain tidak saling mendominasi dan menurut saya itu positif banget.
Langsung saya ringkas saja deh pelajaran yang saya tangkap dari pertemuan tadi:
1. Semakin yakin kalau pada dasarnya orang Indonesia itu senang ngobrol secara langsung (face to face). Hal ini juga menandakan keramahan dan keterbukaan orang Indonesia secara umum.
2. Patut digarisbawahi ternyata tidak hanya perempuan yang senang cerita ngarul-ngidul, laki-laki pun juga senang.
3. Pendidikan di Indonesia sudah terbukti kronis, bahkan gurunya sendiri memilih cepat-cepat pensiun karena pusing memikirkan pendidikan kedepannya.
4. Orangtua itu tetaplah orangtua, sekejam-kejamnya kita menilai mereka, sebenarnya itu bentuk perhatian mereka yang mungkin tidak terterima dengan baik oleh kita.
5. Jadi guru itu banyak berkahnya karena ilmu jika dibagi tidak akan habis, malah makin bertambah. Kemudian, kita tidak akan menyangka beberapa tahun kemudian murid-murid yang kita diajarkan sudah menjadi "orang". *(Sayangnya, saya tidak mau sekadar menjadi seorang guru, saya mau memiliki sekaligus berkuasa di sekolah, hihi).
6. Pernikahan Sunda-Betawi unik kok... tapi bagi saya kurang menantang, abis kedeketan kalo cuma mudik ke Jawa Barat. *haduuuh (tetep, ngarep lelaki seberang pulau,hoho)
~perjalanan dengan Budi, Ghun, K Fadil, Anun, Lili, dan Dayoh ke rumah Pak O Haswari di wilayah Srengseng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar