Kamis, 23 Agustus 2012

Tentang Pencarian Nafkah (sesi inti)

Masih haruskah mengedepankan idealistis dengan segenap egoistis dalam meraih rizki Allah?
Akankah berlaku hitung-hitungan akal dalam mengatur titian takdir Yang Maha Kuasa?

...
Suatu sore pada tanggal 13 Juli 2012, hari Jumat tepatnya saat itu, saya lesu sekali keluar dari sebuah mal di wilayah Jakarta Barat. Lesu bukan karena kecapean mengelilingi mal yang besar itu, bukan, melainkan hanya karena sebongkah kekecewaan. Kekecewaan yang berhasil mengubur harapan saya untuk sesegera mungkin dapat bekerja. Hari itu adalah hari pertama saya mengikuti job fair. Dari sanalah saya menyadari bahwa pekerjaan yang ditawarkan dalam job fair hampir 100% membuat saya ogah banget berstatus sebagai karyawan. Tidak heran dari puluhan perusahaan yang membuka lowongan, hanya satu saja yang saya singgahi. SATU saja dengan posisi yang umum, bahkan perusahaannya pun tidak bergerak dalam dunia yang saya ingini. 

Lantas, apakah saya menduga ternyata SATU perusahaan beserta posisi itulah yang saya geluti sampai saat  ini (hampir sebulan lamanya)? Sungguh, saya tidak menduga sejauh itu. Untuk mencapai waktu tiga minggu di perusahaan ini saja saya harus menjalani proses pendewasaan yang tidak mudah. Lebih tepatnya dikatakan proses pengikhlasan dan pengorbanan. 

...
Semenjak mengikuti job fair dan berakhir dengan kekecewaan. Saya mengandalkan pencarian kerja melalui situs lowongan kerja di internet. Tentu saja dengan lingkup spesifikasi yang saya inginkan. Empat sampai lima perusahaan dengan posisi yang diidam-idamkan saya kirimi CV beserta surat lamaran dengan format yang sudah tersedia. Beberapa hari setelah saya kirimkan CV, ponsel saya mendadak banyak panggilan dari nomor tak dikenal, tentu untuk wawancara, tes, dan sebagainya. Betapa bahagianya mengatahui bahwa perusahaan yang pertama kali merespon CV saya adalah perusahaan yang menawarkan posisi sebagai content writer. Perusahaan itu terletak di wilayah sibuk, Senayan. Akan tetapi, setelah saya mengkroscek lebih lanjut, ternyata sudah banyak kasus penipuan yang dialami calon pelamar kerja di perusahan itu. Alhasil, saya pun membatalkan niat untuk mendatangi kantor tersebut, maklum masih cari aman. 

Ada pula perusahaan yang bergerak di bidang periklanan yang menjadi fokus saya setelah melupakan posisi content writer. Perusahaan itu cukup terkenal sehingga saya tidak terlalu memikirkan posisi yang sesuai dengan harapan "idealis". Saya semakin tertantang dengan proses penerimaan final perusahaan tersebut yang tidak mudah. Tes psikotesnya saja sangat menguras pikiran, tangan, ketelitian, dan kecepatan. Mantaplah, Plan A saya adalah perusahaan periklanan tersebut. Namun, setelah seminggu psikotes, panggilan lanjutan tak lagi ada, sedangkan perusahaan SATU temuan dari job fair kian serius. Sangat serius.

Saya kemudian pesimistis diterima di perusahaan periklanan itu. Jadi, saya segera menyiapkan berkas-berkas untuk finalisasi di perusahaan SATU temuan dari job fair, dapatlah dikatakan setengah hati. Akan tetapi, tubuh  ini terlalu busuk untuk sekadar teronggok di dalam rumah. Bismillah.. sebagai batu loncatan pertama saja. Tepat tanggal 31 Juli 2012, dengan membawa berkas lengkap finalisasi, sekitar pukul setengah lima sore, kontrak kerja pun saya tanda tangani. Apakah saya sadar saat itu? Tentu saja sadar, hanya saja saya tidak merasa bahagia selayaknya orang yang pertama kali diterima kerja secara profesional. Saya merasa biasa saja. Mungkin karena saya masih menyimpan rapi keidealisan dalam hati saya. 

Beberapa hari bekerja, saya jenuh. Hati saya selalu berontak, begini katanya, "Bete banget ini kerjaan, aku ga sesuai sama pekerjaan ini, sabtu-minggu ga libur, haduuh." Tiba-tiba perusahaan periklanan yang telah dua minggu mendiamkan saya, meminta saya untuk kembali datang untuk wawancara lanjutan. Ahaa.. senangnya. Ini nih memang jatah saya. Saya berpikir plan A masih dapat terlaksana.

...
Namun, Allah menginginkan lain.
Saya harus menjinakkan keegoisan saya, memberi kelapangan kepada jiwa untuk mengenal arti IKHLAS.
Sampai akhirnya saya tahu bahwa yang saya ikhlaskan dan yang saya korbankan hanyalah sebuah keidealisan yang harus berubah menjadi kebermanfaatan. Proses pendewasaan ini ternyata belumlah seberapa, jadi Allah ingin saya belajar lebih, BELAJAR lebih. 


~Fitri Apriliani Lestari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar