Amanah itu...
seperti permen:
Ketika sudah terlalu banyak kita memakannya, gigi kita pun sakit.
Padahal awalnya, kita sangat penasaran, ingin tahu seperti apa rasanya.
Yaa.. amanah itu selayaknya permen, banyak pilihan: permen coklat, mint, permen karet, dan rasa-rasa lain. Pertama kali berjumpa, seperti ingin mencoba, tapi ketika sudah kecewa, langsung kita memalingkan wajah dengan segera.
Tak ada salahnya kita umpamakan amanah dengan permen..
Permen itu ada karena ada penikmatnya, penikmat yang tak jera walau sering diingatkan atas segala bahayanya.
Kita ambil contoh penikmat permen sejati adalah anak-anak (misalnya). Mengapa masih juga mereka gemar mencoba permen satu ke permen yang lain, padahal sang ibu sudah berkali-kali melarang, kata sang ibu, "Jangan banyak-banyak makan permen, nanti giginya bolong!"
Namanya saja anak-anak, tetap penasaran dan ketagihan. Anak-anak itu hanya ingin menikmati permen itu saja sampai puas, sampai mereka tak merasakan lagi nikmatnya atau sampai "sumpah serapah" sang Ibu benar-benar terjadi dan mereka malu sendiri.
Kegemaran anak-anak untuk menikmati permen pasti ada batas waktunya. Kemudian bagaimana dengan amanah??
Yaaa.. kita semua pun tahu seluruh hidup kita di dunia adalah amanah, dan tentu saja ada batas waktunya. Benar sekali, ketika kita MATI, barulah amanah itu berhenti.
Semakin banyak amanah atau peran kita, memang jelas semakin sulit bahkan dapat pula sakit. Lantas kenapa? Kenapa tidak kita nikmati saja, toh kelak kita pasti akan berhenti. Entah berapa menit, jam, hari, atau berapa tahun lagi dapat kita "nikmati" amanah ini..
Mari kita belajar bagaimana anak-anak menikmati permen. Mungkin satu hal sederhana yang mereka tanam, yaitu permen itu ENAK. Mereka akan baik-baik saja mengonsumsi permen dan permen membuat mereka SENANG.
Segala PRASANGKA-lah yang membuat kita makin tua dan menjadi tidak lebih baik dari anak-anak. Nikmatilah amanah laksana permen dalam pandangan anak-anak. Tujuannya tak lain dan tak bukan sebagai bentuk syukur atas kehidupan yang diberikan Allah kepada kita.
Amanah itu yaaaa..seperti permen
Senin, 28 November 2011
Seutas evaluasi (baca: kampus)
Saat diingatkan suatu hal, kita melakukannya enggan
Bukan karena tidak bermakna atau tanpa tujuan
Bahkan alam bawah sadar mengiyakan bahwa itu harus dikerjakan..
Mungkin cukup satu alasan segala hal itu kita tinggalkan..
..,yaitu karena orang yang mengingatkan tak punya jabatan
Seringkali kita baru bergerak saat sudah ada PERINGATAN.
Peringatan tegas dari sang atasan
Bukan lagi sekadar teguran manis dari sesama rekan
Sampai kapankah kita tunduk dengan "tuntutan"?
Lupakah kita, bahwa Allah menitipkan pada kita sebuah PERADABAN...
#sungguh sangat mungkin akulah yang paling lupa akan hal itu, dan saudaraku..sudikah mereka mengingatkanku, sedang aku tlah jauh tertinggal..
Bukan karena tidak bermakna atau tanpa tujuan
Bahkan alam bawah sadar mengiyakan bahwa itu harus dikerjakan..
Mungkin cukup satu alasan segala hal itu kita tinggalkan..
..,yaitu karena orang yang mengingatkan tak punya jabatan
Seringkali kita baru bergerak saat sudah ada PERINGATAN.
Peringatan tegas dari sang atasan
Bukan lagi sekadar teguran manis dari sesama rekan
Sampai kapankah kita tunduk dengan "tuntutan"?
Lupakah kita, bahwa Allah menitipkan pada kita sebuah PERADABAN...
#sungguh sangat mungkin akulah yang paling lupa akan hal itu, dan saudaraku..sudikah mereka mengingatkanku, sedang aku tlah jauh tertinggal..
Pengamen Inspiratif
“Berisik amat dah..”
Itu reaksi pertama ketika kuterbangun
dari tidur singkat di Deborah siang itu.
“Ihh..niy abang, suaranya lumayan
asyik, sangat lepas.”
Itu reaksi selanjutnya setelah
mata udah melek utuh.
“Emm..ini lagunya siapa sih yang
dinyanyiin, bagus deh..”
Satu demi satu komentar dalam
hati terus mengalir seiring irama yang dibawakan Si Abang Pengamen.
Si abang
pengamen itu mungkin seusiaku. Memang tidak dapat kulihat wajahnya yang menghadap ke
sisi yang berlawanan dari tempatku duduk, tapi dari suaranya aku dapat menerka kisaran
usianya. Suaranya sangat lepas mendendangkan bait-bait lagu. Sangat asyik. Dari
segi vokal, sebenarnya banyak juga pengamen yang bersuara asyik seperti itu.
Akan tetapi, aku mampu menangkap beberapa keistimewaan dari Si Abang Pengamen ini
yang jarang sekalli dimiliki oleh pengamen-pengamen bersuara emas di bus. Apalagi
ketika Si Abang Pengamen ini menyanyikan lagu Nidji (yang baru aku tahu setelah
lagu hampir berakhir) berjudul “Tuhan Maha Cinta”. Suaranya menggelegar
melebihi suara Giring deh, pokoknya. Yang paling penting lagi adalah suaranya tidak
fals sehingga terdengar enak dinikmati.
Si Abang
Pengamen itu sangat mendalami lagu yang dibawakan. Dia tdak hanya nyanyi
cuap-cuap gitu, semua badannya bergerak sambil memetik gitar. Ada yang perlu
diluruskan sedikit, Si Abang Pengamen ini hanya bergerak ringan di tempat yaa,
bukan mondar-mandir di dalam bus. Gerakannya pun seirama dengan nada lagu dan
petikan gitar, bukan joget ga jelaas.. >_<
Aku yang saat
itu hanya mendengar suaranya saja sudah ngos-ngosan, tapi suara si Abang itu
sangat luar biasa karena tidak ada kesan cape
atau kehabisan nafas. Tiga atau empat lagu dibawakannya dengan sangat all out, menurutku Si Abang itu nyanyi sebebas-bebasnya,
serasa di ruang terbuka, dan bagiku itu positif. Positifnya apa? Coba kalo
nyanyinya malu-malu, suaranya pelan, pada
ga bangun tuch orang-orang di Deborah. Nyanyi bebas itu, tidak
teriak-teriak yaa, harap bedakan. Contoh bersuara bebas kayak orang latihan
drama gitu deh, harus lepas, jelas, dan tegas suaranya. Tentu tidak boleh
sumbang karena pake suara perut. Muatan lagu yang dibawakan (Nidji_Tuhan Maha
Cinta) juga dahsyat. Ini dia:
Nidji Tuhan Maha Cinta
tahukah Tuhanmu selalu hidup di dalam hatimu
cinta dariNya menjawab semua masalahmu
Dia mendengar,melihat dan selalu berfirman
perangi neraka di dalam hatimu
damaikan jiwamu dengan cinta Dia
memberi yang ikhlas kepada yang butuh
bersyukurlah terus tanpa kenal waktu
*courtesy of LirikLaguIndonesia.net
serukan, ikhlaskan, pasrahkanlah hanya kepadaNya
cintaNya adalah jawabanNya karena Tuhanlah Maha Cinta
karena Tuhanlah Maha Cinta
Setelah
selesai dengan lagu-lagunya, Si Abang Pengamen itu menggulung koran sebagai
tempat uang. Saat Abang itu mengitari satu demi satu bangku penumpang, baru
kulihat keringat yang bercucuran di kepala dan badannya. Eemm, luar biasa. Ucapan
terima kasih yang disampaikan Si Abang juga disertai tatapan dan senyuman
terhadap penumpang yang menaruh uang ke dalam gulungan koran tersebut.
Banyak
pelajaran yang dapat kuambil dari Si Abang inspiratif ini, mulai dari
kesungguh-sungguhan, semangat, percaya diri, sampai ke adab. Jika kau ingin meraih sesuatu, lakukanlah
sebaik-baiknya dan dengan kesungguhan setinggi-tingginya. Jangan kita bersusah
payah memikirkan hasil akhir, berani bergerak sajalah dulu, insya Allah
kekuatan dan semangat, Allah-lah yang menciptakan untuk kita nantinya. Ketika kau
yakin dan percaya diri terhadap langkah yang kau ambil, orang lain pun akan
mampu merasakan “ruh” itu.
Aku merasa Si Abang Pengamen
telah mampu bersyukur atas segala yang diberikan Allah padanya, lalu bagaimana
dengan kita???
Kamis, 10 November 2011
Cerminan Kekayaan Budaya Indonesia melalui Didong, Rebab Pesisir, dan Pantun Kentrung*
Oleh Fitri
Apriliani Lestari*, 0806466241
Setiap daerah di
Indonesia memiliki kekhasan yang menandakan kehidupan sehari-hari yang
dilakukan warga di daerah tersebut. Kekhasan itu dapat berupa bahasa, kepercayaan,
budaya, seni, ritual keagamaan, adat istiadat, dan norma yang berlaku. Pada
tulisan ini akan dilakukan pemaparan dan analisis terbatas mengenai kekhasan
suatu daerah dalam hal berkesenian. Lingkup kecil pembahasannya adalah kesenian
Didong, Rebab Pesisir Selatan, dan Pantun Kentrung sebagai tradisi sekaligus
sastra lisan Indonesia.
Tradisi lisan adalah
sebagian kebudayaan yang diwariskan turun-temurun secara lisan kemudian
dilisankan, sedangkan sastra lisan adalah suatu bentuk tuturan atau muatan dalam
sebuah pertunjukkan lisan yang disampaikan hanya melalui bahasa yang dilisankan.
Sastra lisan belum menjadi sebuah
tradisi jika belum diwariskan turun-temurun, setidaknya tiga generasi. Selanjutnya,
tradisi lisan mencakup segala hal yang dilisankan, mulai dari bahasa, mimik, gesture, alat penunjang (alat musik),
dan situasi yang dibangun oleh penonton. Lain halnya dengan sastra lisan yang
“hanya” memperhatikan bahasa dari sebuah pertunjukkan lisan. Pertunjukkan yang
saya maksud adalah proses timbal-balik atau komunikasi langsung antara sumber
dan informan lisan yang pasti selalu ada dalam proses tradisi dan sastra lisan.
Itulah korelasi (perbedaan) antara tradisi lisan dan sastra lisan.
Selain tradisi dan
sastra lisan, dalam ilmu kebudayaan juga dikenal istilah folklore. Menurut Alan
Dundes, folk adalah sekelompok orang
yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat
dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya (dalam folklore Indonesia). Dalam
komunitas yang memiliki corak kekahasan yang sama mereka mempunyai kesadaran
kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. Pengertian dari lore adalah sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun
menurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak
isyarat atau alat pembantu pengingat.
Lalu apakah keterkaitan
serta perbedaan antara folklore, tradisi lisan, dan sastra lisan? Perbedaan
serta keterkaitan antara tradisi dan sastra lisan sudah dipaparkan di atas. Kemudian
kaitan kedua hal tersebut dengan folklore dapat kita titik beratkan kepada kata
“lisan”. Dalam tradisi dan sastra lisan terjadi proses komunikasi atau
interaksi langsung. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi dalam folklore karena
cakupan folklore lebih luas, tidak sekadar lisan. Untuk memperdalam pemahaman
mengenai ketiga istilah ini, kita akan masuk ke contoh kesenian yang ada di
Indonesia, yaitu Didong, Rebab Pesisir Selatan, dan Pantun Kentrung berikut ini
Didong
Gayo dikenal
memiliki kekayaan dalam hal seni suara dan tari. Salah satu kesenian yang akan
kita ulas adalah didong. Didong merupakan salah satu seni suara dan sastra dari
Gayo yang masih utuh bertahan sampai saat ini. Formula yang terdapat dalam
didong adalah tampilnya dua grup yang tiap grup berjumlah sekitar tiga puluh
orang anggota yang juga sudah termasuk para Ceh. Mereka duduk melingkar pada
masing-masing grup. Dalam didong terjadi saling membalas pantun antara dua
grup. Formula yang terus bertahan di setiap generasi sebagai tanda bahwa didong
merupakan tradisi lisan.
Pantun
yang dilontarkan pada pertunjukkan merupakan unsur dari sastra lisan. Didong
sudah menjadi identitas masyarakat Gayo yang memiliki keahlian dalam bersastra
atau bersyair, terutama bagi para Ceh. Identitas dan pewarisan didong atas
masyarakat Gayo menandakan kesenian ini juga sebagai folklore.
Hal-hal penting yang berperan dalam pertunjukkan didong adalah penonton dan pantun. Penonton merupakan juri yang ideal dalam pertunjukkan karena dapat menilai secara obyektif kualitas isi dari pantun yang dibawakan setiap grup. Semakin banyak dan semangat tepukan penonton akan memicu gairah tim untuk membuat pantun yang cerdas dan kreatif. Pembendaharaan kosakata juga diperhatikan dalam pertunjukkan didong.
Hal-hal penting yang berperan dalam pertunjukkan didong adalah penonton dan pantun. Penonton merupakan juri yang ideal dalam pertunjukkan karena dapat menilai secara obyektif kualitas isi dari pantun yang dibawakan setiap grup. Semakin banyak dan semangat tepukan penonton akan memicu gairah tim untuk membuat pantun yang cerdas dan kreatif. Pembendaharaan kosakata juga diperhatikan dalam pertunjukkan didong.
Rebab Pesisir Selatan
Rebab
Pesisir Selatan (RPS) adalah salah satu kesenian yang berasal dari Minangkabau.
RPS sudah dikenal lama oleh warga yang tinggal di kawasan pantai barat selatan
Sumatera Barat sampai perbatasan Provinsi Bengkulu. Saat ini, RPS sudah dikenal
pula di luar wilayah tersebut, seperti daerah Padang, Solok, dan Agam. Formula
yang terdapat pada RPS adalah pengisahan secara lisan suatu kaba (cerita) dengan diiringi instrumen
rebab oleh dua orang penampil. Formula ini tetap sama dilakukan tiap generasi, inilah
salah tanda bahwa RPS merupakan tradisi lisan.
Kaba
yang dituturkan oleh penampil merupakan unsur sastra lisan dalam tradisi ini.
RPS adalah gambaran identitas Minangkabau karena dalam ceritaya dikisahkan tentang
pemuda yang berusaha merintis sukses dengan merantau. Kepemilikan identitas
kelompok tersebut menandakan RPS termasuk folklore. Kepemilikan tersebutlah
yang menjadi daya tarik RPS karena penonton dewasa Minangkabau dapat
bernostalgia tentang perantauannya dan penonton remaja dapat mengimajinasikan
diri tentang perantauan.
Peran
penonton sangat besar dalam pertunjukkan RPS karena pertunjukkan baru dimulai
ketika penonton sudah berdatangan dan berakhir saat penonton sudah banyak yang
pergi. Hal penting yang ikut berperan dalam RPS adalah instrumen yang
digunakan, rebab. Pertunjukkan RPS tidak akan berlangsung tanpa penonton dan
iringan rebab.
Jika
dua kesenian sebelumnya berasal dari Pulau Sumatra, kini kita akan membahas
kesenian dari Pulau Jawa, tepatnya Provinsi Jawa Timur, yaitu Pantun Kentrung. Penceritaan
Pantun Kentrung dibawakan oleh seorang dalang kentrung dan panjak dalam
sebuah acara. Acara yang dimaksud adalah perayaan tujuh bulanan, sunatan,
perkawinan, ruwatan, sedekah desa, dan perayaan kemerdekaan Indonesia. Cerita
yang dipaparkan bergantung pada acara yang digelar.
Formula yang terdapat
di dalam Pantun Kentrung adalah dalang kentrung
yang memainkan instrumen kendang sambil bercerita, panjak yang bertugas mengiringi dalang sambil memainkan
bunyi-bunyian bernama terbang, dan
penanggap. Pewarisan formula ini menandakan kesenian ini merupakan tradisi
lisan, sedangkan cerita yang dibawakan menandakan adanya unsur sastra lisan.
Pantun Kentrung sudah menjadi identitas masyarakat Jawa Timur hal tersebut yang
menjadikan kesenian ini sebagai folklore. Unsur penonton atau penanggap sangat
penting, salah satunya sebagai pemyampai kritik sosial.
Pembahasan mengenai
Didong, Rebab Pesisir Selatan, dan Pantun Kentrung menunjukkan satu inti yang
sama, yaitu disampaikan secara lisan. Selain itu, ketiganya memiliki hubungan sebagai
identitas komunitas di daerah asal masing-masing dan yang terpenting adalah
semua kesenian tersebut mengalami pewarisan turun-temurun. Setiap kesenian atau
kebudayaan memiliki corak khas yang tidak dapat saling menggantikan. Oleh
karena itu, kita harus menghargai perbedaan formula di tiap kesenian sebagai
kekayaan budaya Indonesia. Yang perlu kita sadari adalah kesenian merupakan
cerninan atau identitas suatu bangsa, apabila kita mampu menghargai dan
menjaganya, akan mudah kita memelihara persatuan seluruh Indonesia.
Sumber:
Danandjaja.
James. 2002. Folklore Indonesia.
Jakarta: Pustaka Utama Grafitti.
Endarswara,
Suwardi. 2010. Folklore Jawa: Macam,
Bentuk, dan Nilainya. Jakarta: Penaku.
Melalatoa.
1982. Didong: Kesenian Tradisional Gayo.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Suryadi.
1993. Rebab Pesisir Selatan: Zamzami dan
Marlaini. Jakarta: Yayasan Obor Indoneia
*Esai
ini merupakan tugas Mata Kuliah Sastra Lisan yang menjadi penilaian Ujian
Tengah Semester.
*Penulis adalah mahasiswa semester 7 Universitas Indonesia, Program Studi Indonesia.
Kamis, 03 November 2011
Syair "Tinta"
Siang
ini, aku mencarinya ke mana-mana
Tak
sabar hati ingin berjumpa
Walau
kemarin baru bersua
Tetap
saja pertemuan kami selalu kudamba
Setelah
hari beranjak petang, kudengar berita
Kabarnya
dia sedang sakit tak berdaya
Langsungku
telepon, namun tak diterima
Sungguh
membuatku makin cemas saja
Saudariku
tercinta nan sejuk dipandang mata
Kesehatanmu
jangan lupa harus selalu dijaga
Agar
dapat kita terus bertukar cerita
Sebelum
kau menyandang gelar sarjana…
lalu
meninggalkanku yang masih mahasiswa
Depok, 3 November 2011
9.20 PM
Langganan:
Postingan (Atom)