Selalu
timbul di pikiran saya, kenapa orang-orang Indonesia merasa harus datang ke
Jakarta? Apalagi jika kita lihat sehabis lebaran Idul FItri, yang tadinya pulang kampung sendiri, pas balik
lagi ke Jakarta bertiga akibatnya tiba-tiba ada razia KTP dan sebagainya.
Alasan orang-orang di luar Jakarta ingin datang ke Jakarta beragam dari yang sekadar
jalan-jalan lihat monas sampai yang paling umum adalah mencari kerja.
Yup,
mencari kerja. Saya harus membenarkan memang di Jakarta itu apa saja dapat
diuangkan. Sampah, bisa diuangkan dengan jadi pemulung, beras beberapa butir
plus botol air mineral kosong, bisa diuangkan dengan mengamen, bahkan yang
hebatnya lagi mata melas, tampang lusuh, ditambah baju compang-camping bisa
diuangkan dengan mengemis. Tuh, semua kerjaan ada di Jakarta. Bukan kerja
biasa, itu semua kerja kreatif.
Jakarta: Wajah Indonesia?
Jika
benar Jakartalah wajah Indonesia, sedih sekali hati saya. Sebagai orang –yang bisa
dibilang—Jakarta asli (karena emak-babe,
nenek-embah, dan kumpi lahir di Jakarta), saya prihatin jika Jakarta adalah
kiblat Indonesia. Saya saja merencanakan pergi ke luar Jabodetabek, serta
tinggal di daerah lain selepas kuliah. Kenapa? Karena rutinitas dan gaya hidup
di Jakarta sudah menjemukan bagi saya.
Terus terang,
saya sebagai mahasiswa program studi Indonesia UI, yang diajarkan tentang lokal
genius, kebudayaan Indonesia, filosofi dari berbagai kesenian di Indonesia, tidak
menangkap nilai-nilai khas Indonesia ada di Jakarta. Saya penasaran sebenarnya
nilai-nilai tersebut yang sudah berubah atau “si Jakarta” ini yang bermasalah. Kalau
kita berpikir wajah Indonesia adalah Jakarta, berarti nilai-nilai tersebutlah
yang terkikis habis. Wah, berarti di kuliah para dosen menceritakan sejarah
Indonesia zaman dulu. Benarkah?
Untuk orang-orang
yang ingin datang ke Jakarta, lebih baik jangan meneruskan membaca tulisan ini .
Saya akan mengungkap nilai-nilai “luhur” di Jakarta yang dianggap sebagai hal
yang biasa.
1.
Boros waktu
Hal yang terkait pemborosan waktu
sudah menjadi umum di Jakarta, apalagi kalau bukan kemacetan. Eits,
ada lagi selain macet, khususnya bagi pengguna bus transjakarta pasti
mengalaminya, apakah itu? Mengantri di halte busway yang panas serta pengap. Saya
punya cerita tentang ini. Berapa waktu yang dibutuhkan dari halte Rawa Buaya, Cengkareng
ke Juanda? 1,5 jam jawabannya, padahal saya naik bus transjakarta. Huuuf.
Bayangkan, itu baru perpindahan dari Jakarta
Barat-Jakarta Pusat.
Seharusnya
bisa saja engga boros-boros waktu amat,
seandainya tidak berdesak-desakan, kita bisa memanfaatkan waktu untuk baca
buku, belajar, dsb. Tapi kalau tidak nyaman serta was-was dicopet, ga bisa juga
kan? Saya salut sama orang-orang yang setiap hari menggunakan jasa
transjakarta, sabar bener menderita.
2.
Berebut kekuasaan
Setiap orang berhak mencari kuasa,
tidak salah. Terlebih lagi, berkuasa dalam rangka membenahi pemerintahan yang
bobrok, sangat positif dan mulia. Sayangnya di Jakarta orang-orang pinternya
rada kepinteran sehingga hal yang wajar (mencari kekuasaan) menjadi tidak wajar.
Salah satu ketidakwajaran yang sudah umum adalah politik uang yang berakibat
korupsi.
Tidak
semua elemen melakukan ketidakwajaran, tapi sudah terlalu umum sampai susah
dicari mana yang jujur. Namanya orang pinter, hal yang tidak wajar bisa dicari
teornya biar wajar. Seolah-olah kekuasaan adalah segalanya dan harus banget dicapai, sampai lupa akan kekuasaan
Allah yang Maha. Buktinya banyak yang me”nomorsekian”kan kejujuran.
3.
Materialistis dan Sensasional
Bukan salah Syahrini yang pengen
terkenal sampai harus buat sensasi. Kenapa jadi ke Syahrini? Karena dapat dikata
dia kali ya yang terkenal akan
sensasionalnya saat ini. Di Jakarta
sebagian besar dinilai dengan apa yang kamu punya. Contoh kecil, ketika riweh ada isu ketidak”shahih”an
penggunaan Blackberry, langsung berita heboh mengabarkan bahwa hal itu tidak
adil. Setiap televisi mengabarkan tentang isu itu aja, padahal saya yakin di
Indonesia tidak lebih dari 10% yang punya Blackberry. So?
Warga
Jakarta demen deh hal-hal yang terkait sensasi. Mungkin bisa aja kita bilang, “Ah..dia
mah cuma nyari-nyari sensasi.” Tapi
setiap hari, toh, kita menikmati sensasi orang-orang tersebut dari tv, fb, dan
twitter. Yah, sama yang ditonton sama yang menonton. Hal yang paling mahal saat
ini di Jakarta, bukan lagi Mercedes Benz, Ferrari, kilauan emas berkarat-karat,
bukan! Yang paling mahal sekarang adalah kesederhanaan.
4.
Gila hormat, pamer gelar
Kalau hal yang satu ini hampir dapat dikaitkan
dengan kekuasaan, materialistis, dan sensasional. Begini alurnya, pertama
beraksi biar menimbulkan sensasi dan terkenal secepat kilat. Jika sudah
terkenal, tiba-tiba kekuasaan lebih mudah didapat. Kalau kekuasaan telah
terjangkau tangan materi akan datang dengan sendiri. Tujuannya tidak lain biar
dihormati, diteriakin, “ wiih hebatnya…”
Mudah bukan? Perlu contoh, memang profesi apa sih yang mudah bersensasi
kemudian terkenal? Artis. Nah, kita lihat, banyak artis sekarang di DPR, Wakil
Gubernur, sampai Bupati. Kemampuannya? Wallahu’alam.
Lagi,
lagi ingin berbagai cerita seputar kampus, tapi kali ini tentang pamer gelar. Ini
lingkupnya kampus ya, baru kampus. Kalau mau acara kita didatangin banyak
mahasiswa, sang pembicara harus dahsyat gelarnya, misalnya, acara selevel
fakultas menghadirkan ketua BEM UI atau Mapres UI, nah kan keren tuh. Coba dibandingkan jika pembicaranya petugas
penjaga ruang BEM dan staf penjaga perpus, kira-kira ada yang datang tidak,
mungkin dikit kali ya.
Saya
sama sekali tidak menyalahkan orang yang ingin jadi ketua BEM atau Mapres,
tidak, karena memang sah-sah saja. Bagaimana pun itu urusan tujuan
masing-masing orang. Yang saya sorot sebenarnya adalah kita ini, sebagai
penonton yang menikmati kegemilangan orang lain, padahal orang bergelar banyak
mungkin saja tidak lebih mulia daripada orang yang tanpa gelar. Yah, apa mau
dikata.
Tulisan ini
tidak sepenuhnya cerminan utuh nilai-nilai di Jakarta. Sebut saja sebagian
besar pandangan orang terhadap Jakarta. Yang namanya nilai, ada yang masih
mempertahankan, ada yang ribet
mempertanyakan, bahkan ada juga yang sudah meninggalkan. Bagi kalian, lebih
baik mana?
(Fitri Apriliani Lestari_Prodi
Indonesia UI)